JURNAL ADAB DALAM PERJALANAN/SAFAR DAN DALILNYA
ADAB
PERJALANAN/SAFAR
Diah Meliani Safitri
Institut Agama Islam
Negeri Metro
Jl. Ki Hajar Dewantara
15a Iringmulyo, Kota Metro, Lampung, Indonesia, 34112
Abstrak
A. Pendahuluan
Al-Qur’an dan Sunnah merupakan
sumber hukum islam yang utama. Berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang
menyangkut dengan hukum islam seperti
ushul fiqih ataupun fiqih juga harus bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Sehingganya
pemikiran hukum islam tidak akan pernah terlepas dari dua sumber yaitu
Al-Qur’an dan Sunnah. Dan dalam hal ini pemikir-pemikir hukum islam sangat
mengerahkan pemikirannya untuk mengetahui atau menganalisahukum-hukum dari dua sumber tersebut sehinggadapat menetapkan
hukum islam yang dapat diterapkan atau dijadikan pegangan hukum islam di
kalangan masyarakat.[1]
Dalam bahasa arab pariwisata
dikenal dengan istilah “al-Siyahah,
al-Rihlah, dan al-Safar” sedangkan dalam bahasa Inggris “tourism”,
definisinya ialah suatu aktivitas atau perjalanan yang dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang dengan tujuan untuk melakukan suatu perjalanan ke
tempat-tempat yang ingin dituju. Secara khusus perjalanan yang dimaksud disini
adalah suatu perjalanan dengan tujuan untuk berekreasi ke tempat-tempat wisata
alam, wisata olah raga, wisata rohani, wisata seni dan kebudayaan Indonesia
bahkan bertujuan pula melakukan perjalanan untuk bersilaturahmi ke rumah-rumah
tetangga , sanak saudara, sahabat karib dan teman sejawat, tujuan lainnya ialah
perjalanan untuk pendidikan, menuntut ilmu sehingganya perjalanan tersebut
selain mempunyai tujuan perjalanan tersebut pula mempunyai manfaat bagi orang
yang melakukan perjalanan tersebut.[2]
Otobiografi adalah suatu cacatan
perjalanan para ulama di Minangkabau yang memiliki judul Min Makkah ila Mishra. Dalam cacatan tersebut
terdapat cacatan perjalanan Syekh Muhammad Arsyad Batu Hampar yang melakukan
perjalanan ke timur tengah untuk berziarah ke makam-makan sufi. Ini merupakan
salah satu bentuk perjalanan dalam pendidikan atau keilmuan di masa 1849-1924).[3]
Dalam dunia perfilman juga ada yang
memuat film mengenai perjalanan yang memfokuskan pada dakwah-dakwah keagamaan
mengenai aqidah dan dakwah syariah. Hal ini bukan hanya sebagai sebuah dunia
perfilman namun juga untuk menjadi salah satu metode dakwah di dunia
pertelevisian Indonesia.[4]
B. Pengertian Perjalanan/safar
Dalam bahasa arab pariwisata
disebut rihlah yang memiliki arti perjalanan. Dengan kata lain safara dan
sarayang definisinya di dalam al-Qur’an diungkapkan kata safara 12 kali dan
sara 27 kali.[5]
Redaksi kalimat mengenai kata
perjalanan memiliki lafadz yang berbeda-beda namun hakikatnya memiliki arti
yang sama, yaitu:
1. “Sara-Yasiru-Siru-Sairan-Saiyaratan”:
2. “Al-Safar”
3. “Rihlah”
4. “Hajara-Yuhajiru-Muhajiran”
5. “Asra”
6. “Saha-Yahsihu-Saihan-Siyahah-Saihun”
7. “Dharaba”[6]
Kata safar memiliki arti yaitu
perjalanan. Ketika orang yang melakukan perjalanan/safar berarti orang tersebut
hendak meninggalkan rumah, hendak menempuh perjalanan yang jauh bahkan dalam
perjalanan tersebut sangatlah memperlukan waktu tempuh yang cukup lama.
Biasanya perjalanan tersebut memperlukan waktu minimal sehari semalam, ini
merupakan pendapat dari Imam Malik dan Imam al-Syafi’i. Apabila perjalanan
tersebut tidak mencapai waktu tempuh minimal sehari semalam, maka perjalanan
tersebut tidak dapat di sebut sebagai perjalanan/safar. Ada juga yang
mengatakan bahwa perjalanan tersebut memperlukan waktu minimal tiga hari, ini
merupakan pendapat dari Abu Hanifah. Ketika ukuran waktu perjalanan minimal
sehari semalam atau tiga malam, hal ini beda dengan pendapat sebagian ulama
yang menggunakan ukuran jarak. Jarak perjalanan tersebut sekitar 36 mil atau 48
mil. Ada juga yang mengatakan bahwa ukuran perjalanan tersebut tidak kurang
dari 84 km, ini menurut Yusuf Al-Qardhawi.
Hal ini berbeda dengan pendapat
dari Ibnu Hamz. Beliau berpendapat bahwa bukan jarak dan waktu tempuh yang
menjadi ukuran perjalanan/safar , namun perjalanan yang ditandai ketika saat
keluar dan meninggalkan tempat tinggal. Maka menurut pendapat Ibnu Hamz, ketika meninggalkan rumah pun itu sudah
disebut melakukan perlanan/safar. Walau perjalanan tersebut tidak sampai dari
sehari semalam atau bahkan tiga malam karena menurut pendapat beliau bukan
waktu tempuh yang menjadikan ukuran perjalanan/safar. Juga ketika perjalanan
tersebut tidak mencapai jarak 36 mil, 48 mil atau 84 km pun menurut pendapat
beliau bukan jarak yang menjadikan ukuran perjalanan/safar. Maka ketika orang
telah meninggalkan tempat tinggalnya atau berpergian itu sudah dikatakan
perjalanan/safar. Ketika perjalanan/safar tersebut maka diperbolehkan untuk
tidak puasa, walaupun dalam perjalanan/safar mampu untuk berpuasa menurut Ibnu
Hamz puasa tersebut tidak sah. Namun hal ini berbeda dengan pendapat mayoritas ulama
yang menyatakan bahwa ketika sakit atau sedang dalam perjalanan puasa sah
dilakukan.[7]
Kata Travel yaitu merupakan
perjalanan dari suatu tempat ke tempat yang lainnya, dari suatu kota ke kota
yang lainnya, bahkan dari suatu negara ke negara yang lainnya. Sehingga dalam
sebuah perjalanan tersebut mendapatkan suatu kisah atau pengalaman bagi orang
yang melakukan perjalanan tersebut.[8]
Menurut Zamaksyari Dofler pada abad
ke 20 santri telah berpindah dari suatu pondok pesanten ke pondok pesantren
lainnya dengan tujuan agar dapat menuntut ilmu Islam yang tradisinya disebut
rihlah ‘ilmiyyah serta wisata intelektual untuk menuntut ilmu.[9]
Dalam buku yang berjudul Ar-Rihlatu
fi Islami,Dr Abdul Hakam Ash-Sha’idi berpendapat membagi perjalanan menjadi 5
kelompok yaitu:
1. Berpergian untuk hijrah keluar negara
untuk mencari keselamatan agar terhindar dari bid’ah atau hal-hal yang haram.
2. Berpergian untuk wisata rohani yang mengutamakan tujuan keagamaan
3. Berpergian untuk mencari kebutuhan
duniawi contohnya seperti pergi untuk mencari nafkah.
4. Berpergian untuk kemasyarakatan dengan
contoh untuk saling bermusyawarah, tolong menolong dan berdakwah.
5. Berpergian untuk kesenangan jiwa semata
seperti wisata alam yang dapat kita lihat betapa indahnya alam semesta beserta
segala isinya yang diciptakan oleh Allah SWT dan bertujuan mengagungkan
kebesaran Allah SWT.[10]
Hijrah yaitu perjalanan ibadah yang
perjalanan tersebut dilakukan dari satu kota ke kota lain, satu negara ke
negara lain untuk menuju perubahan yang lebih baik. Dalam konsep hijrah dalam
Islam sangat mendukung untuk berkembang dan maju dalam hidupnya, membebaskan
dirinya apabila ketika dirinya merasa tertekan dalam pemerintahan yang ada.
Al-Rihlah fi Thalib Al-Hadits
merupakan istilah tradisi keilmuan para ahli hadist yang melakukan
perjalanan-perjalanan untuk mencari hadits-hadits dan sumbernya, melacak
kesahihan suatu hadits, meneliti perawinya dan mencari Ilalnya (cacat), bahkan
untuk mencari satu hadits saja sangatlah sulit hingga membutuhkan waktu yang
lama ke berbagai negara. Muqshid Abi Ayub melakukan perjalanan untuk memastikan
suatu hadits yang is dengar dari Rasulullah SAW apakah ada sahabat lain yang
mendengarkannya sama seprti apa yang ia dengar, ia melakukan perjalanan dari
Madinah al-Munawwarah ke Mesir.[11]
Para ulama berpendapatdiperbolehkan
seseorang untuk menjama’ sholat ketika sedang berpergian (Safar), dalam hal
tersebut dimudahkan namun tidak boleh dianggap mudah, maksud mempermudah yaitu
dengan menggunakan petentuk yang jelas. Ketika sedang dalam perjalanan (safar),
menjama’ shalat bagi musafir hukumnya boleh (jaiz).[12]
C. Dalil Perjalanan/safar
1. Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 184
“Maka siapa
diantara kalian dalam keadaan sakit atau sedang dalam perjalanan, maka (boleh
tidak puasa), tetapi menggantinya di hari lain”.[13]
2. Hadits yang melarang seorang wanita yang
pergi tanpa disertai dengan mahramnya. Dalam hal ini yang berstatus mahram
diperbolehkan karena tidak boleh menemani sedangkan yang bukan mahram tidak
boleh menemani karena boleh menikahi. Ini menurut pendapat al-Nawawi dalam
kitab Syarh Sahih Muslim. Jumhur Ulama berpendapat bahwa ketika perempuan
melakukan perjalanan jauh yang sifatnya mubah atau sunnah dianjurkan untuk
didampingi oleh mahram-nya.
Artinya: “Janganlah seorang perempuan melakukan
perjalanan selama tiga hari kecuali bersama mahramnya.”[14]
3. Hadits yang menganjurkan untuk melakukan
perjalanan rohani di tiga masjid
Artinya:
“Tidaklah kamu dianjurkan untuk melakukan perjalanan melainkan kepada tiga
Masjid, al-Masjid al-Haram, Masjid al-Rasul, dan Masjid al-Aqsa.”
4. Hadits yang menganjurkan untuk melakukan
perjalanan ibadah atau melakukan perjalanan ke tempat-tempat wisata alam dengan
tujuan melihat keagungan Allah swt melalui ciptaannya di muka bumi yang sangat
indah
Artinya:
“Dari Sa’ad bin Mas’ud, bahwasannya ‘Usman bin Maz’un datang menemui Nabi SAW,
dia berkata: “izinkanlah kami dikebiri!” lalu Rassulullah SAW menjawab:
“Sesungguhnya pengebirian umatku adalah dengan cara berpuasa.” Dia berkata
lagi: “Ya Rasulullah! Izinkanlah kami hidup melakukan siyahah (pergi ke padang
pasir jauh dari orang ramai, meninggalkan segala kesenangan dan perkara-perkara
yang mubah serta mengekang hawa nafsu).” Lalu Rasul menjawab: “Siyahah umatku
adalah dengan cara berijtihad fi sabilillah.” Dia berkata lagi: “ Wahai Rasulullah,
izinkanlah kami menjalani hidup seperti seorang rahib.” Rasulullah menjawab;
“Sesungguhnya kerahiban umatku adalah dengan cara duduk di masjid-masjid
menunggu masuknya waktu sholat.”
5. Kebiasaan suku Quraisy yang terbisa
melakukan sebuah perjalanan bisnis ke berbagai negara, musim dingin ke Yaman
sedangkan musim dingin ke Syam. Hal ini diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an
surat Al-Quraisy ayat 1-4,
Artinya:
“karena kebiasaan orang-orang Quraisy,
(yaitu) kebiasaan mereka berpergian pada musim dingin dan panas. Maka hendaklah
mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka’bah), yang telah memberi makanan
kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa
ketakutan.” [15]
D. Contoh Sikap Perjalanan/safar
Contoh perjalanan/safar dalam ranah
kebudayaan adat lampung yaitu salah satunya adalah Nemui-Nyimah, nemui yang
artinya tamu dan nyimah yang artinya santun, sehingga menjadi tuan rumah atau
sebagai tamu untuk itu diharuskan memili ukuran dalam kesantunan. Bentuk
kesantunan yang dimaksud disini adalah santun terhadap perilaku, santun
terhadap tutur kata serta santun dalam segala hal agar terjalinnya keharmonisan
masyarakat lampung sertadalam rangka melestarikan adat budaya lampung
nemui-nyimah tersebut.[16]
Tiyuh panarangan merupakan pedoman
hidup sehari-hari dalam kehidupan bermasyakat yang sama seperti akhlak yang
diajarkan dalam agama Islam yaitu salah satunya untuk bertutur kata yang baik.
Ketika ingin bertamu pun memiliki adab-adab bertamu yang sama seperti yang
diajarkan dalam agama islam contohnya sopan dalam berprilaku, tuan rumah
menyuguhkan makanan-makanan yang hendaknya tamu mencicipi walau sedikit agar
untuk menghormati sang tuan rumah. Dalam al-Qur’an dijelaskan di dalam surat
Adz-Dzariyat ayat 26-27 yang Artinya: “Maka dia pergi dan diam-diam menemui
keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk, lalu dihidangkannya
kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: “Silahkan anda makan”.”
Dalam ajaran Islam dianjurkan untuk
menjaga tali silaturahmi, saling tolong menolong antara keluarga, tetangga dan
masyarakat sekitar. Di dalam Islam juga bersilaturahmi salah satunya bertujuan
untuk membuka pintu rezeki yang akan diberikan oleh Allah SWT. Zulkifli
mengemukakan bahwasannya nemui-nyimah merupakan perilaku sopan santun saat
bertamu atau sedang bertamu, menerima pendapat atau masukan dari orang lain,
saling tolong menolong di lingkungan masyarakat Tiyuh Panarangan.
Adab-adab bertamu di dalam
lingkungan masyarakt tiyuh panarangan:
1. Memiliki niatan ikhlas karena Allah SWT
dalam menyambung tali silaturahmi dan ketika ingin bertamu dianjurkan sebaiknya
untuk membawa buah tangan untuk diberikan kepada tuan rumah.
2. Mengucapkan salam serta menjawab salam
yang bertujuan untuk saling mendoakan yang memiliki makna semoga keselamatan
dan kasih sayang Allah SWT terlimpahkan kepada kalian. Mengucap dan menjawab
salam juga merupakan sunnah saat bertamu antara sesama muslim. Menjawab salam
adalah kewajiban sebagaimana Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 86 yang artinya: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu
penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari
padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya
Allah memperhitungkan segala sesuatu.”
Adab
tuan rumah yang menerima tamu di dalam masyarakat tiyuh panarangan:
1. Tuan rumah menyambut tamunya dengan
ikhlas, sopan serta ramah terhadap tamu.
2. Menyuguhkan makanan-makanan sesuai
kemampuan sang tuan rumah.
3. Memuliakan tamu, berbicara yang sopan
dan ramah terhadap tamu.
4. Menghantarkan tamu keluar rumah ketika tamu
hendak pulang dengan maksud menghormati tamu tersebut.[17]
E. Hikmah Perjalanan/safar
F.
Kesimpulan
Dalam budaya nemui nyimah
menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam yang dimana dalam nemui nyimah tersebut
menekankan kegiatan silaturahmi, mengajarkan adab-adab ketika menjadi tuan
rumah dan ketika menjadi tamu, saling menghormati dan tolong menolong antar
masyarakat Tiyuh Panarangan.
G. Daftar Pustaka
Sofyan
A. P. Kau, “Corak Fikih Literalistik-Tekstualistik,” Jurnal Al-Ulum 10,
no. 2 (Desember 2010).
Johar
Arifin, “Wawasan Al-Quran dan Sunnah Tentang Pariwisata,” An-Nur 4, no.
2 (2015).
Yufni
Faisol, “Ziarah dalam Tradisi Sufi Minangkabau: Teks dan Konteks Naskah
Otobiografi Syekh Arsyad Batuhampar,” Jurnal Pusaka 3, no. 1 (2015).
Masturina
Khairun Nisa, Ucik Ana Fardila, dan Agus Widodo, “Isi Pesan Dakwah Aqidah dan
Syariah dalam Film Indonesia Islami ‘Jilbab Traveler Love Sparks In Korea,’” Jurnal
Translitera, 2019.
Rahmi
Syahriza, “Pariwisata Berbasis Syariah (Telaah Makna Kata Sara dan Derivasinya
dalam Al-Qur’an,” Human Falah 1, no. 2 (Juli 2014).
Eva Eri
Dia, “The Gong Traveling: Kajian Sastra Perjalanan,” Sastranesia 1, no.
3 (2013).
Umar
Buchary, “Rihlah Ilmiah Sebagai Wisata Intelektual Kaum Santri,” Karsa
XVIII, no. 2 (Oktober 2010).
Arisman,
“Jamak dan Qadha Shalat Bagi Pengantin Kajian Fiqih Kontemporer,” Hukum
Islam XIV, no. 1 (Juni 2014).
Ummi
Hasanah dan Ahmad Rajafi, “Hadits Perempuan Melakukan Perjalanan Tanpa Mahram
Perspektif Hermeneutika Paul Ricoeur,” Jurnal Aqlam 3, no. 1 (Juni
2018). Johar
Arifin, “Wawasan Al-Quran dan Sunnah Tentang Pariwisata.”
M.
Ali Syufa’at dan Ahmad Madkur, “Gerakan Agama dan Budaya Komunitas Sekelik
Sedulur dalam Mencegah Konflik Etnis di Lampung Tengah,” Ri’ayah 2, no.
1 (Juni 2017).
Heru
Juabdin Sada, Rijal Firdaos, dan Yunita Sari, “Implementasi Nilai-Nilai
Pendidikan Islam dalam Budaya Nemuy Nyimah Di Masyarakat Lampung Pepadun,” Al-Tadziyyah:
Jurnal Pendidikan Islam 9, no. 2 (2018).
[1] Sofyan
A. P. Kau, “Corak Fikih Literalistik-Tekstualistik,” Jurnal Al-Ulum 10,
no. 2 (Desember 2010).
[3] Yufni
Faisol, “Ziarah dalam Tradisi Sufi Minangkabau: Teks dan Konteks Naskah
Otobiografi Syekh Arsyad Batuhampar,” Jurnal Pusaka 3, no. 1 (2015).
[4] Masturina
Khairun Nisa, Ucik Ana Fardila, dan Agus Widodo, “Isi Pesan Dakwah Aqidah dan
Syariah dalam Film Indonesia Islami ‘Jilbab Traveler Love Sparks In Korea,’” Jurnal
Translitera, 2019.
[5] Rahmi
Syahriza, “Pariwisata Berbasis Syariah (Telaah Makna Kata Sara dan Derivasinya
dalam Al-Qur’an,” Human Falah 1, no. 2 (Juli 2014).
[9] Umar
Buchary, “Rihlah Ilmiah Sebagai Wisata Intelektual Kaum Santri,” Karsa
XVIII, no. 2 (Oktober 2010).
[10] Rahmi
Syahriza, “Pariwisata Berbasis Syariah (Telaah Makna Kata Sara dan Derivasinya
dalam Al-Qur’an.”
[12] Arisman,
“Jamak dan Qadha Shalat Bagi Pengantin Kajian Fiqih Kontemporer,” Hukum
Islam XIV, no. 1 (Juni 2014).
[14] Ummi
Hasanah dan Ahmad Rajafi, “Hadits Perempuan Melakukan Perjalanan Tanpa Mahram
Perspektif Hermeneutika Paul Ricoeur,” Jurnal Aqlam 3, no. 1 (Juni
2018).
[16] M.
Ali Syufa’at dan Ahmad Madkur, “Gerakan Agama dan Budaya Komunitas Sekelik
Sedulur dalam Mencegah Konflik Etnis di Lampung Tengah,” Ri’ayah 2, no.
1 (Juni 2017).
[17] Heru
Juabdin Sada, Rijal Firdaos, dan Yunita Sari, “Implementasi Nilai-Nilai
Pendidikan Islam dalam Budaya Nemuy Nyimah Di Masyarakat Lampung Pepadun,” Al-Tadziyyah:
Jurnal Pendidikan Islam 9, no. 2 (2018).
Comments
Post a Comment