MAKALAH PENGETIAN MAHABBAH DAN TOKOH YANG MENGEMBNGKAN MAHABBAH

MAKALAH PENGERTIAN MAHABBAH DAN TINGKATANNNYA
“Mahabbah”
Tugas ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu  Mata Kuliah Tasawuf

Dosen Pengampu : Mukhtar Hadi, M.Si

Disusun Oleh:
Andika           (1701010197)
Kelas: B / Semester III

Jurusan: Pendidikan Agam Islam
Fakultas: Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
 METRO T.A 1441 H /2019 M

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
     Seorang mukmin sejati tentu amat cinta kepada Allah, dan apabila belum tumbuh rasa cinta kepada Allah berarti belumlah dikatakan beriman secara sungguh-sungguh kepada-Nya. Bahkan ajaran mencintai Allah dan Rasulnya melebihi cintanya pada apa saja selain keduanya, telah digariskan dalam firman Allah maupun sabda Nabi Muhammad SAW.
     Cinta kepada Allah SWT dan Rosulnya itu biasa disebut dengan mahabbah.  Mahabbah yang dimaksud yaitu mematuhi semua perintah allah dan meninggalkan semua larangannya dengan tulus ikhlas. Mahabbah sendiri memiliki tokoh-tokoh dalam pengembanganaya, juga memiliki tingkatan-tingkaan tertentu, serta alat untuk mencapainya.

B.       Rumusan Masalah
     Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumuskan masalah diantaranya sebagai berikut:
1.    Bagaimana Definisi Mahabbah dan Tingkatan Mahabbah?
2.    Bagaimana Alat Mencapai Mahabbah?
3.    Siapa Tokoh yang Mengembangkan Mahabbah?
4.    Bagaimana Mahabbah dalam Al-Qur'an dan Hadist?

C.       Tujuan Masalah
     Berdasarkan dari rumusan masalah di atas maka tujuan masalah yang ingin diketahui adalah:
1.    Definisi Mahabbah
2.    Alat Mencapai Mahabbah
3.    Tokoh yang Mengembangkan Mahabbah
4.    Mahabbah dalam Al-Qur'an dan Hadist

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Definisi Mahabbah dan Tingkatan Mahabbah
1.    Definisi Mahabbah
Dalam bahasa arab "Mahabbah" berasal dari kata "Ahabba-Yuhibbu-Mahabbatan" yang secara bahasa berarti mencintai, secara mendalam, kecintaan, atau cinta yang mendalam. Dalam  Al-Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan, Mahabbah (cinta) adalah lawan dari kata al-baghd (benci). 
Al-Mahabbah  dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat pengasih atau penyayang. Selain itu, al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran kepada sesuatu yang dicintainya, cinta orang tua kepada anaknya, seseorang kepada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja kepada pekerjaannya.
Mahabbah artinya cinta. Cinta kepada Allah memang suatu ajaran yang amat ditekankan dalam islam. Firman Allah dalam Al-Quran telah menegaskan ajaran untuk mencintai allah, misalnya dalam surat al-Maidah ayat 54:
يَأيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهِ فَسَوْفَ يَأْتِى اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَتُحِبُّوْنَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَفِرِيْنَ يُجَهِدُوْنَ فِى سَبِيْلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لآئِمٍ   ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَشَاءُ  وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيْم
Artinya: "Hai orang orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak allah akan mendatangkan suatu kaum yang allah mencintai mereka dan merekapun mencintainya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang orang kafir, yang berjihad dijalan allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia allah, diberikannya kepada siapa yang dikehendakinya, dan allah maha luas (pemberiannya), lagi maha mengetahui". (Q.S AL-Maidah: 54).[1]
Jadi seorang mukmin sejati tentu amat cinta kepada Allah, dan apabila belum tumbuh rasa cinta kepada Allah berarti belumlah dikatakan beriman secara sungguh-sungguh kepada-Nya. Bahkan ajaran mencintai Allah dan Rasulnya melebihi cintanya pada apa saja selain keduanya, telah digariskan dalam firman Allah maupun sabda Nabi Muhammad saw.
Mahabbah adalah cinta, dan yang dimaksud adalah cinta kepada Allah SWT. Pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain adalah sebagai berikut:
a.         Memeluk kepatuhan kepada tuhan dan membenci sikap melawan kepadanya.
b.        Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
c.         Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi (tuhan).[2]
Menurut pemahaman Abdul Hakim Hasan dalam kitabnya Al-Tasawwuf fi Al-Syari’ Al-Arabi, cinta yang diajarkan Al-Quran dan hadits adalah cinta taat (cinta rasional), yaitu rasa cinta hormat, cinta yang masih terkendali penalaran rasional, bukan yang didorong oleh perasaan yang membuta. Cinta rasional atau cinta rasional ini bermakna menaati perintah-perintahNya dan menjauhi apa-apa yang diharamkan-Nya, dan mengutamakannya dari segala sesuatu yang lainnya. Cinta rasional yang syar’i inilah yang diamalkan oleh para nabi beserta para sahabatnya dan umat islam pada umumnya hingga akhir abad pertama hujrah. Baru mulai abad kedua hingga abad ketiga hijrah dan untuk seterusnya para sufi mulai mengembangkan konsep cinta yang menyimpang dari batas tuntutan syari’at.[3]

Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan suatu paham atau aliran dalam tasawwuf. Dalam hubungan ini, objek mahabbah lebih ditunjukkan kepada Tuhan. Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan diatas, tampaknya ada juga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhani kepada Tuhan.
Mahabbah dalam pengertian tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan oleh Al-Qusyairi sebagai berikut:
Al-Mahabbah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah SWT oleh hambanya, Selanjutnya yang  dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan seorang hamba mencintai Allah Swt.
Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintai-Nya itu selanjutnya dapat  mengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang melimpah. Mahabbah berbeda dengan Al-Raghbah. Mahabbah adalah cinta yang tidak dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi, Sedangkan ar-raghbah adalah cinta yang disertai dengan keinginan yang kuat untuk mendapatkan sesuatu, meskipun harus mengorbankan segalanya.
Al-Mahabbah, al-qurb, dan al-ma’rifat terkadang dipandang sebagai maqamat dan terkadag dipandang sebagai ahwal, sebagai contoh misalnya: bagi Al Junaid, marifat termasuk kategori ahwal, sedangkan menurut Al-Qusyairi, marifat termasuk kategori maqamat. Bagi Al-Ghazali, Ada perbedaan susunan antara marifat dan mahabbah. Menurutnya, mahabbah diperoleh sesudah marifat, sedangkan Al-Kalabadzi menegaskan bahwa mahabbah diperoleh sebelum marifat. [4]
K.H Ahmad Rifa’i mengatakan bahwa cinta seorang hamba kepada Allah adalah berbakti kepadaya dengan jalan mematuhi semua perintahnya dan meninggalkan semua larangannya (taat), dan jika melakukan dosa harus segera bertaubat.
Adapun tanda-tanda orang yang cinta kepada Allah, menurut K.H Ahmad Rifai’i adalah sebagai berikut:
a.         Ia senantiasa mengikuti ajaran-ajaran Nabi Muhammad saw, karena dengan demikian berarti ia telah mencintai Allah swt, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S Ali Imran ayat 31, yang berbunyi: “Katakanlah (hai Muhammad): jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu.”
b.        Ia senantiasa ikhlas dalam mematuhi semua perintah Allah dan meninggalkan semua larangannya, karena ikhlas merupakan rohnya ibadah. Cinta kepada Allah memerlukan pengorbanan yang betul-betul ikhlas, yakni tidak merasa berat dalam mengabdikan diri (beribadah) kepadanya. Cinta kepada Allah, bagi K.H Ahmad Rifai’i merupakan nyawanya iman dan merupakan syarat sahnya iman.
Inti paham mahabbah K.H Ahmad Rifa’I adalah mematuhi semua perintah allah dan meninggalkan semua larangannya dengan tulus ikhlas. Paham mahabbahnya hanya sebatas cinta antara seorang ‘Abaid (yang menyembah) dsn ma’bud (yang disembah). Masih ada jarak antara seorang hamba dengan Allah, bukan cinta sesama kekasih yang mempnyai persamaan derajat (munasabat). Paham mahabbahnya sangat erat kaitannya dengan syari’at.[5]
2.    Tingkatan Mahabbah
Mahabbah memiliki beberapa tingkatan, menurut Al-Saraj al-Thusi, mahabbah mempunyai tiga tingkatan diantaranya yaitu:
a.         Cinta biasa, yaitu selalu mengingat tuhan dengan dzikir, suka meyebut nama-nama allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan tuhan. Senantiasa memuji tuhan.
b.        Cinta orang sidik, yaitu orang yang kenal dengan tuhan, pada kebesaran-Nya, dan pada kekuasaan-Nya. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada tuhan. Ia mengadakan dialog dengan tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada tuhan dan selalu rindu pada-Nya.
c.         Cinta yang arif, yaitu orang yang tahu betul pada tuhan. Cinta serupa ini timbul karena telah tahu betul kepada tuhan. Yang diliha dan yang dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang dicintai.[6]
Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha dengan sunguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniyah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak, yaitu: cinta kepada Allah.

B. Alat untuk Mencapai Mahabbah
       Dapatkah manusia mencapai mahabbah seperti disebutkan diatas? Para ahli tasawwuf menjawabnya dengan menggunakan pendekatan psikologi, yaitu pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniyah yang ada didalam diri manusia. Harun Nasution, dalam bukunya falsafah dan Mistisis dalam islam mengatakan, bahwa alat untuk memperoleh ma’rifat oleh sufi disebut sir.             Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi, harun Nasution mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan tuhan. Pertama, al-qalbu (hati sanubari), sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat tuhan. Kedua, roh sebagai alat untuk mencintai tuhan. Ketiga, sir, yaitu alat untuk melihat tuhan. Sir lebih halus daripada roh, dan lebih halus daripada qalbi, dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari allah, kalau qalbu dan roh telah suci-sesucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apapun.
       Dengan keterangan tersebut, dpat diketahui bahwa alat untuk mencintai tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya diisi oleh cinta kepada tuhan.
       Roh yang digunakan untuk mencintai tuhan itu dianugrahkan tuhan kepada manusia sejak kehidupan dalam kandungan ketika umur empat bulan. Dengan demikian, alat untuk mahabbah itu sebenarnya telah diberikan tuhan. Manusia tidak tahu sebenarnya hakikat itu, dan yang mengatahui hanyalah tuhan. Allah berfirman:
وَيَسْئَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ  قُلِ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِرَبِّيْ وَمَا اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلًا
"Mereka itu bertanya kepada engkau (Muhammad) tentang roh, katakanlah bahwa roh itu utusan tuhan, tidak akmu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali” (QS Al-Isra’ :85).
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْا لَهُ, سجِدِيْنَ
“Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan) ku, maka tunduklah kamu kepada-Nya dengan bersujud”. (QS Al-Hijr : 29).
            Dua ayat tersebut selain menginformasikan bahwa manusia dianugrahi roh oleh tuhan, juga menunjukkan bahwa roh itu pada dasarnya memiliki watak tunduk dan patuh pada tuhan. Roh yang wataknya demikian itulah yang digunakan para sufi untuk mencintai Tuhan.[7]

C. Tokoh yang Mengembangkan Mahabbah
            Hampir seluruh literatur bidang tasawwuf menyebutkan bahwa tokoh yang memperkenalkan ajaran mahabbah ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Hal ini didasarkan pada ungkapan-ungkapannya yang menggambarkan bahwa ia menganut paham tersebut.
Rabi’ah Al-Adawiyah adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari Basrah, di Irak. Ia hidup antara tahun 713-801 H. Sumber lain menyebutkan bahwa ia meniggal dunia dalam tahun 185 H / 796 M. Ia hidup dalam kesederhanaan dan menolak segala bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Dalam berbagai doa yang dipanjatkannya ia tak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari tuhan. Ia betul-betul hidup didalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan tuhan.[8]
       Cinta Rabi’ah yang tulus tanpa mengharapkan sesuatu dari Tuhan, terlihat dari ungkapan doa-doa yang disampaikannya. Ia misalnya berdoa :
Ya tuhanku, bila aku menyembah-Mu lantaran takut kepada neraka, maka bakarlah diriku dalam neraka, dan bila aku menyemba-Mu karena mengharapkan surge, maka jauhkanlah aku dari surga, namun jka aku menyembah-Mu hanya demi engkau, maka janganlah tutup keindahan abadi-Mu.[9]
       Kecintaan Rabi’ah pada Tuhan terlihat pada syairnya berikut ini:
وَحُبًّا لِأَنًّكَ اَهْلُ لِذَاكَا
~
اُحِبُّكَ حُبَّيْنِ حُبُّ الْهَوَى
فَشُغْلِيْ بِذِكْرِكَ عَمَّنْ سِوَاكَا
~
فَأَمَّاالَّذِيْ هُوَحُبُّ الْهَوَى
فَكَشْفُكَ لِى الْحَجْبَ حَتَّى اَرَاكَا
~
وَاَمَّاالَّذِيْ اَنْتَ اَهْلُ لَهُه
وَلَكِنْ ذَلِكَ الْحَمْدُ فِيْ ذَا وَلاذَاكَا
~
فَلَا الْحَمْدُ فِيْ ذَا اَوْذَاكَ لِيْ
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu, cinta karena diriku adalah keadaanku senantiasa mengingat-Mu. Cinta karena dirimu adalah keadaanMu, mengungkapkan tabir hingga Engkau kulihat. Baik untuk ini maupun untuk itu pujian bukanlah bagiku. Bagimulah pujian untuk kesemuanya”.
فَارْحَمِ الْيَوْمَ مُذْنِبًا قَدْاَتَاكَ
~
يَاحَبِيْبَ الْقَلْبِ مَالِيْ سِوَاك
قَدْ اَبَى الْقَلْبُ اَنْ يُحِبَّ سِوَاكَ
~
يَارَجَائِيْ وَرَاحَتِيْ وَسُرُوْرِيْ
“Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau.
       Dalam syairnya yang lain ia mengatakan:
“ Kucintai Engkau lantaran aku cinta,
Dan lantaran kamu patut dicintai,
Cintakulah yang membuat rindu kepadaMu,
Demi cinta suci ini, sibakkanlah tabir penutup tatapan sembahku, janganlah kau puji aku lantaran itu
Bagi-Mu lah segala puji dan puji."
       Atas syair-syait tersebut, al-Ghazali mengatakan : “Barangkali yang ia maksud dengan cinta kerinduan itu ialah cinta kepada Tuhan, karena kasih saying, rahmat dan iradah Allah telah sampai kepadanya”. Karena Allah telah menganugrahkan roh, sehingga ia dapat menyebut dan dekat dengan-Nya.
       Syair-syair tersebut ia ucapkan pada saat setelah datang keheningan malam dengan gemerlapnya bintang, tertutupnya pintu-pintu istana raja dan orang-orang telah terbuai dalam tidurnya. Waktu malam sengaja dipilih karena pada waktu itulah roh dan daya rasa yang ada dalam diri manusia tambah meningkat dan tajam, tak ubahnya seorang yang bercinta yang selalu mengharapkan waktu-waktu malam untuk selalu bersamaan.[10]

D. Mahabbah dalam Al-Qur’an dan al-Hadits
       Paham mahabbah sebagaimana disebutkan diatas mendapatkan tempat di dalam Al-Qur’an. Banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menggambarkan bahwa antara manusia dengan tuhan dapat saling bercinta. Misalnya ayat yang berbunyi :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
 “Jika kamu cinta kepada Allah, maka turutlah akau dan Allah akan mencintai kamu”.(QS Ali ‘Imran: 30).
وَلَايَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ , وَمَنْ اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمْعًا وَبَصَرًا وَيَدًا
“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga aku cinta kepadanya. Orang-orang yang kucintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku”.
Ayat dan hadits di atas memberikan petunjuk bahwa antara manusia dan tuhan dapat saling mencintai, karena alat untuk mencintai tuhan, yaitu roh adalah berasal dari roh tuhan. Roh tuhan dan roh yang ada pada manusia sebagai anugrah tuhan bersatu dan terjadilah mahabbah. Ayat dan hadits tersebut juga menjelaskan bahwa pada saat terjadi mahabbah diri yang dicintai telah menyatu dengan yang mencintai yang digambarkan dalam telinga, mata dan tangan Tuhan. Dan untuk mencapai keadaan tersebut dilakukan dengan amal ibadah yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.[11]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.      Mahabbah adalah cinta kepada Allah SWT dan Rosulnya SAW, yaitu dengan mematuhi perintahnya dan menjauhi larangannya.  Tingkatan mahabbah diantanya yaitu Cinta biasa (senantiasa memuji Allah SWT), cinta orang sidik (orang yang kenal dengan tuhan, pada kebesaran-Nya, dan pada kekuasaan-Nya), cinta yang arif (orang yang tahu betul pada tuhan).
2.      Menurut pendapat al-Qusyairi, harun Nasution mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan tuhan diantarnya yaitu al-qalbu atau hati sanubari (sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat tuhan), roh (sebagai alat untuk mencintai tuhan), sir (alat untuk melihat tuhan).
3.      Tokoh yang memperkenalkan ajaran mahabbah ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Beliau adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari Basrah, di Irak. Ia hidup antara tahun 713-801 H.
4.      Dalam Al-Qur’an menggambarkan bahwa antara manusia dengan tuhan dapat saling bercinta seperti yang tercantum dalam surat Ali-Imron: 30.

DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta: Rajawali Pers, 2017.
Mukhtar Hadi, Memahami Ilmu Tasawuf: Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf, Yogyakarta: Aura Media, 2009.
Nur Hidayat, Akhlak Tasawuf, Yogyakart:  Penerbit, 2013.

[1]Mukhtar Hadi, Memahami Ilmu Tasawuf: Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf, (Yogyakarta: Aura Media, 2009), h. 107-108.
[2] Ibid, h. 108-109.
[3] Ibid, h. 110.
[4] Nur Hidayat, Akhlak Tasawuf, (Yogyakart:  Penerbit Ombak, 2013), h. 132.
[5] Ibid, h. 132-133.
   [6] Mukhtar Hadi, Memahami Ilmu Tasawuf: Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf, h. 109
[7] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), h. 184.

[8] Ibid, h. 185.
[9] Ibid, h. 186.
[10] Ibid, h. 186-187.
[11] Ibid, h. 187-188.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

MAKALAH DASAR-DASAR QUR’ANI DAN SEJARAH TIMBULNYA ILMU KALAM

Jurnal Akidah Akhlak Adab Bergaul Dengan: Remaja, Teman Sebaya, Orang Yang Lebih Tua, Orang Yang Lebih Muda, Dan Lawan Jenis

Jurnal Akidah Akhlak Tentang Akhlak Murid Terhadap Guru Menurut Kitab Ta'lim Muta'llim

JURNAL ADAB DALAM PERJALANAN/SAFAR DAN DALILNYA

Jurnal Kesibukan Seseorang Menjadi Alasan Menjamak Sholat Menurut Ulama

Jurnal Hukum Adab Bertetangga Dan Implementasinya

Jurnal Adab Dalam Berpakaian Dalil Dan Hikmah Berpakain Sopan