MAKALAH PENGETIAN MAHABBAH DAN TOKOH YANG MENGEMBNGKAN MAHABBAH
MAKALAH PENGERTIAN MAHABBAH DAN TINGKATANNNYA
“Mahabbah”
Tugas
ini Disusun untuk
Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah
Tasawuf
Dosen
Pengampu : Mukhtar Hadi,
M.Si
Disusun
Oleh:
Andika (1701010197)
Kelas: B / Semester III
Jurusan: Pendidikan Agam Islam
Fakultas: Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan (FTIK)
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
METRO T.A
1441 H /2019 M
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Seorang mukmin
sejati tentu amat cinta kepada Allah, dan apabila belum tumbuh rasa cinta
kepada Allah berarti belumlah dikatakan beriman secara sungguh-sungguh
kepada-Nya. Bahkan ajaran mencintai Allah dan Rasulnya melebihi cintanya pada apa
saja selain keduanya, telah digariskan dalam firman Allah maupun sabda Nabi
Muhammad SAW.
Cinta kepada
Allah SWT dan Rosulnya itu biasa disebut dengan mahabbah. Mahabbah yang dimaksud yaitu mematuhi semua
perintah allah dan meninggalkan semua larangannya dengan tulus ikhlas. Mahabbah sendiri memiliki tokoh-tokoh dalam pengembanganaya, juga
memiliki tingkatan-tingkaan tertentu, serta alat untuk mencapainya.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas,
maka perumuskan masalah diantaranya sebagai berikut:
1.
Bagaimana
Definisi Mahabbah dan Tingkatan Mahabbah?
2.
Bagaimana
Alat Mencapai Mahabbah?
3.
Siapa
Tokoh yang Mengembangkan Mahabbah?
4.
Bagaimana
Mahabbah dalam Al-Qur'an dan Hadist?
C.
Tujuan
Masalah
Berdasarkan dari rumusan masalah di atas
maka tujuan masalah yang ingin diketahui adalah:
1.
Definisi
Mahabbah
2.
Alat
Mencapai Mahabbah
3.
Tokoh
yang Mengembangkan Mahabbah
4.
Mahabbah
dalam Al-Qur'an dan Hadist
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Mahabbah dan Tingkatan Mahabbah
1. Definisi Mahabbah
Dalam bahasa arab
"Mahabbah" berasal dari kata
"Ahabba-Yuhibbu-Mahabbatan" yang secara bahasa berarti
mencintai, secara mendalam, kecintaan, atau cinta yang mendalam. Dalam Al-Mu’jam
al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan, Mahabbah (cinta) adalah lawan dari
kata al-baghd (benci).
Al-Mahabbah
dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat pengasih atau penyayang.
Selain itu, al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu
yang sedang berjalan dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat
material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran kepada
sesuatu yang dicintainya, cinta orang tua kepada anaknya, seseorang kepada
sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja kepada
pekerjaannya.
Mahabbah artinya cinta. Cinta kepada Allah memang suatu ajaran yang amat
ditekankan dalam islam. Firman Allah dalam Al-Quran telah menegaskan ajaran untuk mencintai allah,
misalnya dalam surat al-Maidah ayat 54:
يَأيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهِ
فَسَوْفَ يَأْتِى اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَتُحِبُّوْنَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى
الْمُؤْمِنِيْنَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَفِرِيْنَ يُجَهِدُوْنَ فِى سَبِيْلِ اللَّهِ
وَلَا يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لآئِمٍ
ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيْم
Artinya: "Hai orang orang yang
beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak allah
akan mendatangkan suatu kaum yang allah mencintai mereka dan merekapun
mencintainya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang
bersikap keras terhadap orang orang kafir, yang berjihad dijalan allah, dan
yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia allah,
diberikannya kepada siapa yang dikehendakinya, dan allah maha luas (pemberiannya),
lagi maha mengetahui". (Q.S AL-Maidah: 54).[1]
Jadi seorang mukmin sejati tentu amat cinta kepada Allah, dan apabila belum
tumbuh rasa cinta kepada Allah berarti belumlah dikatakan beriman secara
sungguh-sungguh kepada-Nya. Bahkan ajaran mencintai Allah dan Rasulnya melebihi
cintanya pada apa saja selain keduanya, telah digariskan dalam firman Allah
maupun sabda Nabi Muhammad saw.
Mahabbah adalah cinta, dan yang dimaksud adalah cinta kepada Allah SWT. Pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain
adalah sebagai berikut:
a.
Memeluk kepatuhan kepada tuhan dan membenci sikap
melawan kepadanya.
b.
Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
Menurut pemahaman Abdul Hakim Hasan dalam kitabnya Al-Tasawwuf fi Al-Syari’
Al-Arabi, cinta yang diajarkan Al-Quran dan hadits adalah cinta taat (cinta
rasional), yaitu rasa cinta hormat, cinta yang masih terkendali penalaran
rasional, bukan yang didorong oleh perasaan yang membuta. Cinta rasional atau
cinta rasional ini bermakna menaati perintah-perintahNya dan menjauhi apa-apa
yang diharamkan-Nya, dan mengutamakannya dari segala sesuatu yang lainnya.
Cinta rasional yang syar’i inilah yang diamalkan oleh para nabi beserta para
sahabatnya dan umat islam pada umumnya hingga akhir abad pertama hujrah. Baru mulai abad kedua hingga abad ketiga
hijrah dan untuk seterusnya para sufi mulai mengembangkan konsep cinta yang
menyimpang dari batas tuntutan syari’at.[3]
Kata Mahabbah tersebut
selanjutnya digunakan untuk menunjukkan suatu paham atau aliran dalam tasawwuf.
Dalam hubungan ini, objek mahabbah lebih ditunjukkan kepada Tuhan. Dari
sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan diatas, tampaknya ada
juga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf,
yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhani
kepada Tuhan.
Mahabbah dalam pengertian tasawuf ini lebih
lanjut dikemukakan oleh Al-Qusyairi sebagai berikut:
Al-Mahabbah merupakan hal (keadaan) jiwa
yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah SWT oleh
hambanya, Selanjutnya yang dicintainya
itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan seorang hamba
mencintai Allah Swt.
Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba
yang mencintai-Nya itu selanjutnya dapat mengambil
bentuk iradah dan rahmah Allah yang diberikan kepada
hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang melimpah. Mahabbah berbeda
dengan Al-Raghbah. Mahabbah adalah cinta yang tidak dibarengi dengan
harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi, Sedangkan ar-raghbah adalah
cinta yang disertai dengan keinginan yang kuat untuk mendapatkan sesuatu, meskipun
harus mengorbankan segalanya.
Al-Mahabbah, al-qurb, dan al-ma’rifat terkadang
dipandang sebagai maqamat dan terkadag dipandang sebagai ahwal, sebagai contoh
misalnya: bagi Al Junaid, marifat termasuk kategori ahwal, sedangkan menurut Al-Qusyairi,
marifat termasuk kategori maqamat. Bagi Al-Ghazali, Ada perbedaan susunan
antara marifat dan mahabbah. Menurutnya, mahabbah diperoleh sesudah marifat,
sedangkan Al-Kalabadzi menegaskan bahwa mahabbah diperoleh sebelum marifat. [4]
K.H Ahmad Rifa’i mengatakan bahwa cinta seorang
hamba kepada Allah adalah berbakti kepadaya dengan jalan mematuhi semua
perintahnya dan meninggalkan semua larangannya (taat), dan jika melakukan dosa
harus segera bertaubat.
Adapun tanda-tanda orang yang cinta kepada
Allah, menurut K.H Ahmad Rifai’i adalah sebagai berikut:
a.
Ia senantiasa mengikuti ajaran-ajaran Nabi
Muhammad saw, karena dengan demikian berarti ia telah mencintai Allah swt, hal
ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S Ali Imran ayat 31, yang berbunyi: “Katakanlah
(hai Muhammad): jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku,
niscaya Allah mencintaimu.”
b.
Ia senantiasa ikhlas dalam mematuhi semua
perintah Allah dan meninggalkan semua larangannya, karena ikhlas merupakan
rohnya ibadah. Cinta kepada Allah memerlukan pengorbanan yang betul-betul
ikhlas, yakni tidak merasa berat dalam mengabdikan diri (beribadah) kepadanya.
Cinta kepada Allah, bagi K.H Ahmad Rifai’i merupakan nyawanya iman dan
merupakan syarat sahnya iman.
Inti paham mahabbah K.H Ahmad Rifa’I adalah
mematuhi semua perintah allah dan meninggalkan semua larangannya dengan tulus
ikhlas. Paham mahabbahnya hanya sebatas cinta antara seorang ‘Abaid (yang
menyembah) dsn ma’bud (yang disembah). Masih ada jarak antara seorang hamba
dengan Allah, bukan cinta sesama kekasih yang mempnyai persamaan derajat (munasabat).
Paham mahabbahnya sangat erat kaitannya dengan syari’at.[5]
2.
Tingkatan Mahabbah
Mahabbah memiliki beberapa tingkatan, menurut Al-Saraj al-Thusi, mahabbah
mempunyai tiga tingkatan diantaranya yaitu:
a.
Cinta biasa, yaitu selalu mengingat tuhan
dengan dzikir, suka meyebut nama-nama allah dan memperoleh kesenangan dalam
berdialog dengan tuhan. Senantiasa memuji tuhan.
b.
Cinta orang sidik, yaitu orang yang kenal
dengan tuhan, pada kebesaran-Nya, dan pada kekuasaan-Nya. Cinta yang dapat
menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari tuhan dan dengan demikian
dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada tuhan. Ia mengadakan dialog dengan
tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini
membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang
hatinya penuh dengan perasaan cinta pada tuhan dan selalu rindu pada-Nya.
c.
Cinta yang arif, yaitu orang yang tahu
betul pada tuhan. Cinta serupa ini timbul karena telah tahu betul kepada tuhan.
Yang diliha dan yang dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai.
Akhirnya sifat sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang dicintai.[6]
Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha dengan
sunguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniyah tertinggi dengan
tercapainya gambaran yang mutlak, yaitu: cinta kepada Allah.
B. Alat untuk Mencapai Mahabbah
Dapatkah manusia mencapai mahabbah seperti
disebutkan diatas? Para ahli tasawwuf menjawabnya dengan menggunakan pendekatan
psikologi, yaitu pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniyah yang ada
didalam diri manusia. Harun Nasution, dalam bukunya falsafah dan Mistisis dalam
islam mengatakan, bahwa alat untuk memperoleh ma’rifat oleh sufi disebut sir. Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi,
harun Nasution mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat
dipergunakan untuk berhubungan dengan tuhan. Pertama, al-qalbu (hati sanubari),
sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat tuhan. Kedua, roh sebagai alat untuk
mencintai tuhan. Ketiga, sir, yaitu alat untuk melihat tuhan. Sir lebih halus
daripada roh, dan lebih halus daripada qalbi, dan sir timbul dan dapat menerima
iluminasi dari allah, kalau qalbu dan roh telah suci-sesucinya dan
kosong-sekosongnya, tidak berisi apapun.
Dengan keterangan tersebut, dpat
diketahui bahwa alat untuk mencintai tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah
dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada
segala sesuatu, melainkan hanya diisi oleh cinta kepada tuhan.
Roh yang digunakan untuk mencintai tuhan
itu dianugrahkan tuhan kepada manusia sejak kehidupan dalam kandungan ketika
umur empat bulan. Dengan demikian, alat untuk mahabbah itu sebenarnya telah
diberikan tuhan. Manusia tidak tahu sebenarnya hakikat itu, dan yang mengatahui
hanyalah tuhan. Allah berfirman:
وَيَسْئَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِرَبِّيْ وَمَا
اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلًا
"Mereka
itu bertanya kepada engkau (Muhammad) tentang roh, katakanlah bahwa roh itu
utusan tuhan, tidak akmu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali” (QS
Al-Isra’ :85).
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ
رُّوْحِيْ فَقَعُوْا لَهُ, سجِدِيْنَ
“Maka apabila aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan) ku,
maka tunduklah kamu kepada-Nya dengan bersujud”. (QS Al-Hijr : 29).
Dua ayat tersebut selain menginformasikan bahwa manusia
dianugrahi roh oleh tuhan, juga menunjukkan bahwa roh itu pada dasarnya
memiliki watak tunduk dan patuh pada tuhan. Roh yang wataknya demikian itulah
yang digunakan para sufi untuk mencintai Tuhan.[7]
C. Tokoh yang Mengembangkan Mahabbah
Hampir seluruh
literatur bidang tasawwuf menyebutkan bahwa tokoh yang memperkenalkan ajaran
mahabbah ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Hal ini didasarkan pada
ungkapan-ungkapannya yang menggambarkan bahwa ia menganut paham tersebut.
Rabi’ah Al-Adawiyah
adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari Basrah, di Irak. Ia hidup
antara tahun 713-801 H. Sumber lain menyebutkan bahwa ia meniggal dunia dalam
tahun 185 H / 796 M. Ia hidup dalam kesederhanaan dan menolak segala bantuan
material yang diberikan orang kepadanya. Dalam berbagai doa yang dipanjatkannya
ia tak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari tuhan. Ia betul-betul hidup
didalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan tuhan.[8]
Cinta Rabi’ah yang tulus tanpa mengharapkan sesuatu dari
Tuhan, terlihat dari ungkapan doa-doa yang disampaikannya. Ia misalnya berdoa :
“Ya tuhanku, bila
aku menyembah-Mu lantaran takut kepada neraka, maka bakarlah diriku dalam
neraka, dan bila aku menyemba-Mu karena mengharapkan surge, maka jauhkanlah aku
dari surga, namun jka aku menyembah-Mu hanya demi engkau, maka janganlah tutup
keindahan abadi-Mu.[9]
Kecintaan Rabi’ah pada Tuhan terlihat pada syairnya berikut
ini:
وَحُبًّا
لِأَنًّكَ اَهْلُ لِذَاكَا
|
~
|
اُحِبُّكَ حُبَّيْنِ
حُبُّ الْهَوَى
|
فَشُغْلِيْ
بِذِكْرِكَ عَمَّنْ سِوَاكَا
|
~
|
فَأَمَّاالَّذِيْ
هُوَحُبُّ الْهَوَى
|
فَكَشْفُكَ
لِى الْحَجْبَ حَتَّى اَرَاكَا
|
~
|
وَاَمَّاالَّذِيْ
اَنْتَ اَهْلُ لَهُه
|
وَلَكِنْ
ذَلِكَ الْحَمْدُ فِيْ ذَا وَلاذَاكَا
|
~
|
فَلَا الْحَمْدُ فِيْ
ذَا اَوْذَاكَ لِيْ
|
“Aku mencintai-Mu
dengan dua cinta, cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu, cinta karena
diriku adalah keadaanku senantiasa mengingat-Mu. Cinta karena dirimu adalah
keadaanMu, mengungkapkan tabir hingga Engkau kulihat. Baik untuk ini maupun
untuk itu pujian bukanlah bagiku. Bagimulah pujian untuk kesemuanya”.
فَارْحَمِ
الْيَوْمَ مُذْنِبًا قَدْاَتَاكَ
|
~
|
يَاحَبِيْبَ
الْقَلْبِ مَالِيْ سِوَاك
|
قَدْ اَبَى
الْقَلْبُ اَنْ يُحِبَّ سِوَاكَ
|
~
|
يَارَجَائِيْ
وَرَاحَتِيْ وَسُرُوْرِيْ
|
“Buah hatiku, hanya
Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu.
Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai
selain dari Engkau.
Dalam syairnya yang lain ia mengatakan:
“ Kucintai Engkau
lantaran aku cinta,
Dan lantaran kamu patut
dicintai,
Cintakulah yang membuat
rindu kepadaMu,
Demi cinta suci ini,
sibakkanlah tabir penutup tatapan sembahku, janganlah kau puji aku lantaran itu
Bagi-Mu lah segala puji
dan puji."
Atas syair-syait tersebut, al-Ghazali mengatakan : “Barangkali
yang ia maksud dengan cinta kerinduan itu ialah cinta kepada Tuhan, karena
kasih saying, rahmat dan iradah Allah telah sampai kepadanya”. Karena Allah
telah menganugrahkan roh, sehingga ia dapat menyebut dan dekat dengan-Nya.
Syair-syair tersebut ia ucapkan pada saat setelah datang
keheningan malam dengan gemerlapnya bintang, tertutupnya pintu-pintu istana
raja dan orang-orang telah terbuai dalam tidurnya. Waktu malam sengaja dipilih
karena pada waktu itulah roh dan daya rasa yang ada dalam diri manusia tambah
meningkat dan tajam, tak ubahnya seorang yang bercinta yang selalu mengharapkan
waktu-waktu malam untuk selalu bersamaan.[10]
D. Mahabbah dalam Al-Qur’an dan al-Hadits
Paham mahabbah
sebagaimana disebutkan diatas mendapatkan tempat di dalam Al-Qur’an. Banyak
ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menggambarkan bahwa antara manusia dengan tuhan
dapat saling bercinta. Misalnya ayat yang berbunyi :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ
تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
“Jika kamu cinta kepada Allah, maka turutlah
akau dan Allah akan mencintai kamu”.(QS Ali ‘Imran: 30).
وَلَايَزَالُ عَبْدِى
يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ , وَمَنْ اَحْبَبْتُهُ
كُنْتُ لَهُ سَمْعًا وَبَصَرًا وَيَدًا
“Hamba-Ku senantiasa
mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga aku cinta
kepadanya. Orang-orang yang kucintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku”.
Ayat dan hadits di atas
memberikan petunjuk bahwa antara manusia dan tuhan dapat saling mencintai,
karena alat untuk mencintai tuhan, yaitu roh adalah berasal dari roh tuhan. Roh
tuhan dan roh yang ada pada manusia sebagai anugrah tuhan bersatu dan
terjadilah mahabbah. Ayat dan hadits tersebut juga menjelaskan bahwa pada saat
terjadi mahabbah diri yang dicintai telah menyatu dengan yang mencintai yang
digambarkan dalam telinga, mata dan tangan Tuhan. Dan untuk mencapai keadaan
tersebut dilakukan dengan amal ibadah yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.[11]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Mahabbah adalah cinta
kepada Allah SWT dan Rosulnya SAW, yaitu dengan mematuhi perintahnya dan
menjauhi larangannya. Tingkatan mahabbah
diantanya yaitu Cinta biasa (senantiasa memuji Allah SWT), cinta orang sidik (orang yang
kenal dengan tuhan, pada kebesaran-Nya, dan pada kekuasaan-Nya), cinta yang
arif (orang yang tahu betul pada tuhan).
2. Menurut
pendapat al-Qusyairi, harun Nasution mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada
tiga alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan tuhan diantarnya
yaitu al-qalbu atau hati sanubari (sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat
tuhan), roh (sebagai alat untuk mencintai tuhan), sir (alat untuk melihat tuhan).
3. Tokoh yang
memperkenalkan ajaran mahabbah ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Beliau adalah
seorang zahid perempuan yang amat besar dari Basrah, di Irak. Ia hidup antara
tahun 713-801 H.
4.
Dalam Al-Qur’an menggambarkan bahwa antara manusia dengan tuhan dapat
saling bercinta seperti yang tercantum dalam surat Ali-Imron: 30.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta: Rajawali Pers, 2017.
Mukhtar Hadi, Memahami Ilmu Tasawuf: Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf, Yogyakarta: Aura Media, 2009.
Nur Hidayat, Akhlak Tasawuf, Yogyakart: Penerbit, 2013.
Hmmmm
ReplyDelete