MAKALAH DASAR-DASAR QUR’ANI DAN SEJARAH TIMBULNYA ILMU KALAM
DASAR-DASAR
QUR’ANI DAN SEJARAH TIMBULNYA
ILMU
KALAM
Makalah Ini Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tauhid
dan Ilmu Kalam
Dosen
Pengampu : Muhammad Badarudin, M.Pd.
DISUSUN OLEH
KELOMPOK 1:
1.
MUSLIKHATUL JANAH
(1701040009)
2.
SULISTIAWATI (1701040128)
3.
VERIN RISNA MELANI (1701040016)
TADRIS/PENDIDIKAN MATEMATIKA (TPM)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO
T.A 2018/2019
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah SWT.
Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan
karunia dan rahmat-Nya kami mampu menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi
tugas matakuliah Tauhid dan Ilmu Kalam. Dalam penyusunan makalah ini tidak
sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun kami menyadari bahwa kelancaran
penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang
tua, dosen, dan teman-teman semua, sehingga kendala-kendala yang kami
hadapi dapat teratasi.
Makalah ini
disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Dasar-Dasar Qur’ani dan Sejarah Timbulnya Ilmu Kalam yang kami
sajikan dari berbagai sumber informasi, dan referensi.
Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang luas dan menjadi sumbangan pemikiran
kepada pembaca. Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Untuk itu, kepada pembaca
kami meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah kami dimasa
yang akan datang. Kami juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Metro, 3 September 2019
Penulis
DAftar Isi
SAMPUL
KATA PENGANTAR................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG .............................................................................
1.2 RUMUSAN
MASALAH ........................................................................
1.3 TUJUAN...................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN ILMU KALAM ...................................................... .......
2.2 SUMBER-SUMBER ILMU KALAM .....................................................
2.3 SEJARAH TIMBULNYA ILMU KALAM .................................... .....
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN.......................................................................................
3.2 SARAN...................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mempelajari mata kuliah ilmu kalam merupakan
salah satu dari tiga komponen utama rukun iman. Ketiga komponen itu, yaitu
mengucapkan dengan lisan, melaksanakan sesuai dengan rukun-ruun, dan
membenarkan dengan hati. Agar keyakinan itu dapat tumbuh dengan kukuhnya, para
ulama dahulu telah melakukan kajian secara mendalam.
Untuk menjadikan ucapan lisan secara
meyakinkan dan kukuh diperlukan ilmunya, yaitu ilmu tauhid, ilmu yang membahas
tentang masalah ketuhanan. Pada gilirannya dengan perkembangan situasi dan
kondidi social yang berlaku pada saatnya, ilmu tauhid telah berkembang menjadi
ilmu kalam. Sementara itu, ilmu yang dapat memperkukuh amalan-amalan iman
dinamakan ilmu fiqh. Adapun ilmu yang membahas agar hati seorang mukmin dapat
memperoleh keyakinan kuat, para ulama masa lalu mengajarkan ilmu tasawuf.
Dengan ini diharapkan iman seorang mukmin mampu meresap ke dalam hati seseorang
mukmin yang terdalam.
Ketiga komponen ilmu itu, dalam kajian
ilmu-ilmu keislaman secara ilmiah, menjadi kajian utamanya. Hanya, stressing-nya
terkadang berbeda-beda antara satu wilayah atau negara dengan wilayah lain atau
negara lain. Terkadang di satu wilayah atau negara, ilmu fiqh dan ilmu kalam
diperkuat, sementara ilmu tasawufnya kurang berkembang. Di wilayah atau negara
lain, ilmu fiqh dengan ilmu tasawuf yang lebih dikembangkan, dengan kurang
memerhatikan pengembangan ilmu kalam, atau berbagai model lagi.
Kajian tentang ketuhanan dan berbagai hal yang
bekaitan dengan-Nya, dalam kajian ilmiah ilmu-ilmu keislaman, dibicarakan dalam
kajian disiplin ilmu kalam. Dari ketiga komponen disiplin ilmu-ilmu keimanan
itu, masing-masing mempunyai kekurangan. Oleh karena itu, agar setiap disiplin
ilmu itu dapat terpenuhi secara komprehensif dari kekurangannya, diperlukan
kajian yang seimbang di antara ketiganya, bukan menghilangkan salah satu
disiplin ilmu dari ketiganya.
Bukankah pada abad pertengahan, ketika
disiplin ilmu fiqh berkembang dengan pesatnya, sehingga seseorang yang tidak
mengenal fiqh, dianggap sebagai tidak berilmu. Seperti dinyatakan oleh para
kritikusnya bahwa berkembangnya fiqh di dunia Ialam telah menghambat kemajuan
ilmiah di dunia Islam.
Begitu pula, ketika ilmu tasawuf berkembang di
dunia Islam, dikritik oleh para kritikus bahwa tasawuf ikut bertanggung jawab
terhadap kejumudan dunia Islam, sehingga dunia Islam mengalami keterpurukan
ilmiah sampai saat ini.
Kini umat Islam semakin dewasa. Setiap ilmuwan
mulai mampu menempatkan posisi masing-masing ilmu sesuai dengan situasi dan
kondisinya. Lalu, kaum muslim mulai gemar mempelajari ketiga komponen disiplin
ilmu tersebut tanpa harus menapikan salah
satunya. Untuk itu, disiplin ilmu kalam pun menjadi kajian yang mutlak,
bahkan dianggap sebagai ilmu yang wajib
dikaji di setiap jurusan berbagai fakultas ilmu keagamaan, khususnya di
Indonesia.
1.2 Rumusan
Masalah
a)
Apa itu ilmu
kalam?
b)
Apa sumber-sumber ilmu kalam?
c)
Bagaimana
sejarah timbulnya ilmu kalam?
1.3 Tujuan
a)
Mengetahui dan
memahami ilmu kalam.
b)
Mengetahui dan
memahami dasar-dasar timbulnya ilmu kalam
c)
Mengetahui
dan memahami sejarah timbulnya ilmu kalam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN ILMU KALAM
Ilmu kalam
biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, Al-Fiqh
Al-Akbar, dan teologi Islam. Disebut ilmu ushuluddin karena ilmu ini membahas pokok-pokok agama (ushuluddin). Disebut ilmu tauhid karena
ilmu ini membahas keesaan Allah SWT. Didalamnya dikaji pula tentang ‘asma (nama-nama) dan af’al (perbuatan-perbuatan) Allah yang
wajib, mustahil, dan ja’iz, juga sifat yang wajib, mustahil dan ja’iz bagi
Rasul-Nya. Ilmu tauhid sebenarnya ilmu yang membahas tentang keesaan Allah SWT.
dan hal-hal yang berkaitan dengan-Nya. Secara objektif, ilmu kalam sama dengan
ilmu tauhid, tetapi argumentasinya lebih dikonsentrasikan pada penguasaan
logika. Oleh karena itu, sebagian teolog menganggap bahwa ilmu kalam berbeda
dengan ilmu tauhid.
Al-Fiqh Al-Akbar merupakan istilah bagi Abu
Hanifah (80-150 H) dalam memberikan nama ilmu ini. Menurut persepsinya, hukum
Islam yang dikenal dengan istilah fiqh terbagi atas dua bagian. Pertama, Al-Fiqh Al-Akbar, di dalamnya
dibahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan istilah keyakinan atau
pokok-pokok agama atau ilmu tauhid. Kedua,
Al-Fiqh Al-Ashghar, di dalamnya dibahas tentang hal-hal yang berkaitan
dengan masalah muamalah, bukan pokok-pokok agama, tetapi hanya cabang.
Teologi
Islam merupakan istilah lain dari ilmu kalam. Istilah ini berasal dari bahasa
Inggris, theology. William L. Reese
(I. 1921 M) mendefinisikannya dengan discourse
or reason concerning God (diskursus atau pemikiran tentang Tuhan). Dengan
mengutip kata-kata William Ockham (1287-1347), Reese lebih jauh mengatakan, Theology to be a discipline resting on
revealed truth and independent of both philosophy and science (Teologi
merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi
filsafat dan ilmu pengetahuan). Sementara itu, Gove menyatakan bahwa teologi
adalah penjelasan tentang keimanan, perbuatan, dan pengalaman agama secara
rasional.
Sementara
itu, Al-Farabi mendefinisikan ilmu kalam sebagai berikut: “Ilmu
Kalam adalah disiplin ilmu yang membahas tentang Dzat dan sifat-sifat Allah
serta eksistensi semua yang mukmin, mulai yang berkenaan dengan masalah dunia
sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan doktrin Islam. Stressing akhirnya memproduksi ilmu ketuhanan secara
filosofis….”
Memerhatikan definisi ilmu kalam diatas, yaitu ilmu yang
membahas masalah-masalah ketuhanan dengan menggunakan argumentasi logika atau
filsafat, secara teoritis aliran Salaf tidak dapat dimasukkan ke dalam aliran
ilmu kalam karena aliran ini dalam pembahasan masalah-masalah ketuhanan tidak
menggunakan argumentasi filsafat atau logika. Aliran ini cukup dimasukkan ke
dalam aliran ilmu tauhid atau ilmu ushuluddin
atau Al-Fiqh Al-Akbar.
2.2 SUMBER-SUMBER ILMU KALAM
Sumber-sumber ilmu kalam adalah sebagai berikut:
1. AL-QUR’AN
Sebagai sumber ilmu kalam, Al-qur’an banyak
menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah ketuhanan. Diantara
ayat Al-qur’an yang membicarakan masalah-masalah ketuhanan adalah:
a.
Q.S. Al-Ikhlas (112) : 3-4.
Ayat
ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak beranak dan tidak diperanakkan, bahkan tidak
ada sesuatu pun di dunia ini yang tampak sejajar dengan-Nya.
b.
Q.S. Asy-Syura (42) : 7.
Ayat
ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak seperti apa pun di dunia ini. Ia Maha Mendengar
dan Maha Mengetahui.
c.
Q.S. Al-Furqan
(25) : 59.
Ayat
ini menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Penyayang bertahta di atas “Arsy”. Ia Pencipta
langit, bumi dan semua yang ada di antara keduanya.
d.
Q.S. Al-Fath (48) : 10.
Ayat
ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “tangan” yang selalu berada diatas tangan
orang-orang yang melakukan sesuatu, selama orang-orang itu selalu berpegang
teguh dengan janji Allah.
e.
Q.S. Thaha (20) : 39.
Ayat
ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “mata” yang selalu digunakan untuk
mengawasi seluruh gerak termasuk gerakan hati makhluk-Nya.
f.
Q.S. Ar-Rahman (55) : 27.
Ayat
ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “wajah” yang tidak akan rusak
selama-lamanya.
g.
Q.S. An-Nisa (4) : 125.
Ayat
ini menunjukkan bahwa Tuhan menurunkan aturan berupa agama. Seseorang akan
dikatakan telah melaksanakan aturan agama ketika telah menggunakan wajahnya
untuk kedamaian karena Allah.
h.
Q.S. Luqman (31) : 22.
Ayat
ini menunjukkan bahwa orang yang telah menggunakan wajahnya untuk kedamaian
karena Allah disebut sebagai orang “muhsin”.
i.
Q.S. Ali-Imran (3) : 83.
Ayat
ini menunjukkan bahwa Tuhan adalah tempat kembali segala sesuatu, baik secara
terpaksa maupun secara sadar.
j.
Q.S. Ali-Imran (3) : 84-85.
Ayat
ini menunjukkan bahwa Tuhanlah yang menurunkan penunjuk jalan kepada para nabi.
k.
Q.S. Al-Anbiya’ (21) : 92.
Ayat
ini menunjukkan bahwa manusia dalam baerbagai suku, ras, atau etnis, dan agama
apa pun adalah umat Tuhan yang satu. Oleh karena itu, semua umat tanpa
membedakan kondisi dan situasi apapun harus mengarahkan pengabdiannya hanya
kepada-Nya.
l.
Q.S. Al-Hajj (22) : 78.
Ayat
ini menunjukkan bahwa seseorang yang ingin melakukan kegiatan yang
sungguh-sungguh akan dikatakan sebagai “jihad” jika dilakukan hanya karena
Allah SWT. semata.
Ayat-ayat
di atas berkaitan dengan dzat, sifat, asma, perbuatan, tuntunan, dan hal-hal lain
yang berkaitan dengan eksistensi Tuhan. Hanya penjelasan perinciannya tidak
ditemukan. Oleh karena itu, sangat beralasan jika para ahli berbeda pendapat dalam
menginterprestasikan perinciannya. Pembicaraan tentang hal-hal yang berkaitan
dengan ketuhanan disistematiskan sehingga menjadi sebuah ilmu yang dikenal
dengan istilah ilmu kalam.
Al-Qur’an
sendiri di samping ajakannya kepada tauhid dan mempercayai kenabian dan hal-hal
lain yang berhubungan dengan itu, menyinggung pula golongan-golongan dan
agama-agama yang ada pada masa Nabi Muhammad saw. yang mempunyai
kepercayaan-kepercayaan yang tidak benar. Qur’an tidak membenarkan kepercayaan
mereka dan membatah alasan-alasannya, anata lain:
a.
Golongan yang mengingkari agama dan adanya Tuhan dan
mereka mengtakan bahwa yang menyebabkan kebinasaan dan kerusakan hanyalah waktu
saja (Q.S. Al-Jasiyah 45: 24).
b.
Golongan-golongan syirik, yang menyembah
bintang-bintang, bulan, matahari (Q.S. Al-An’am 6: 76-78) yang mempertuhankan
Nabi Isa dan ibunya (Q.S. Al-Maidah 5: 116), yang menyembah berhala-berhala
(Q.S. Al-An’am 6: 74 dan Asy-Syura’ 26:71)
c.
Golongan-golongan yang tidak percaya akan keutusan
nabi-nabi (Q.S. Al-Isra’ 17: 94) dan tidak mempercayai kehidupan kembali di
akhirat nanti (Q.S Al-Anbiya 21: 38)
d.
Golongan yang mengatakan bahwa semua yang terjadi di
dunia ini adalah dari perbuatan Tuhan semuanya dengan tidak ada campur tangan
manusia (yaitu orang-orang munafik, Q.S. Ali Imran 3: 154).
2. HADIS
Hadis Nabi Muhammad SAW. pun banyak yang
membicarakan masalah-masalah yang dibahas ilmu kalam, di antaranya hadis Nabi
yang menjelaskan hakekat keimanan:
Diriwayatkan dari Abu Huraira
r.a, “pada suatu hari, ketika Rasulullah SAW. berada bersama kaum muslim,
datanglah seorang laki-laki kemudian bertanya kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah!
Apakah yang dimaksud dengan Iman?’
Rasul menjawab, ‘yaitu kamu
percaya kepada Allah, para Malaikat, semua kitab yang diturunkan, hari
pertemuan dengan-Nya, para Rasul, dan hari kebangkitan.’ …”
Terdapat pula beberapa
hadis yang kemudian dipahami sebagian lama sebagai prediksi Nabi akan
kemunculan golongan-golongan dalam ilmu kalam. Di antara hadis yang berkaitan
dengan masalah-masalah ini adalah:
Hadis ini diriwayatkan dari Abdullah bi Umar. Ia mengatakan
bahwa Rasulullah pernah bersabda, ‘Akan
menimpa waktu umatku apa yang pernah menimpa bani Israil…. Bani Israil telah
terpecah belah manjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah belah menjadi 73
golongan. Semua akan masuk neraka, kecuali satu golongan,’ ‘siapa mereka itu,
wahai Rasulullah?’ Tanya para sahabat. Rasulullah menjawab, ‘Mereka itu adalah
yang mengikuti jejakku dan sahabat-sahabatku.’
Di samping riwayat hadis yang sampai kepada Nabi, persoalan
ramalan Nabi dia atas terdapat pula pada riwayat-riwayat yang hanya sampai
kepada sahabat. Di antaranya mengatakan bahwa umat Islam akan terpecah belah ke
dalam beberapa golongan. Di antara golongan-golongan itu terdapat satu yang
benar, sedangkan yang lainnya sesat.
Keberadaan hadis-hadis
yang berkaitan dengan perpecahan umat seperti di atas pada dasarnya merupakan
prediksi Nabi dengan melihat fenomena yang tampak dari potensi yang tersimpan
dalam hati para sahabatnya. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa hadis-hadis
seperti itu lebih dimaksudkan sebagai peringatan bagi para sahabat dan umat
Nabi tentang bahayanya perpecahan dan pentingnya persatuan.
3. PEMIKIRAN MANUSIA
Pemikiran
manusia dalam hal ini, baik berupa pemikiran umat Islam sendiri atau pemikiran
yang berasal dari luar umat Islam. Sebelum filsafat Yunani masuk dan berkembang
di dunia Islam, umat Islam sendiri telah menggunakan pemikiran rasionalnya
untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, terutama
yang belum jelas mksudnya (al-mutayabihat).
Keharusan untuk menggunakan rasio ternyata mendapat pijakan dari beberapa ayat
Al-Qur’an yang artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an
ataukah hati mereka terkunci.” (Q.S. Muhammad [47]: 24)
Ayat
serupa dapat ditemukan pada An-Nahl (16):
68-69, Al-Jatsiyah (45): 12-13, Al-Isra’ (17): 44, Al-An’am (6): 97-98,
At-Taubah (9): 122, Ath-Thariq (86): 5-7, Al-Ghasiyah (88): 7-20, Shad (38):
29, Muhammad (47): 24, An-Nahl (16): 17, Az-Zumar (39): 9, Adz-Dzariyat (51):
47-49 dan lain-lain.
Dari
ayat yang disebutkan diatas, terdapat kata-kata tafakkar, tafaquh, nazhar, tadabbar, tadzakkar, fahima, aqala, ulu
al-albab, ulu al-ilm, ulu al-abshar, dan ulu an-nuha. Semua ayat
tersebut berkaitan langsung dengan anjuran motivasi, bahkan perintah
kepada manusia untuk menggunakan rasio. Dengan demikian, manusia dapat
melaksanakan fungi utamanya, yakni sebagai khalifah Allah SWT. untuk mengatur
dunia. Dengan demikian, jika ditemukan seorang muslim telah melakukan suatu
kajian objek tertentu dengan rasionya, hal itu secara teoritis bukan karena
adanya pengaruh dari pihak luar saja, tetapi karena adanya perintah langsung
Al-Qur’an sendiri.
Bentuk
kongkret penggunaan pemikiran Islam sebagai sumber ilmu kalam adalah ijtihad yang dilakukan para mutakallim dalam persoalan-persoalan
tertentu yang tidak ada penjelasannya dalam Al-Qur’an dan hadis, misalnya manzillah bain al-manzilatain (posisi
tengah di antara dua posisi) di kalangan Mu’tazilah, persoalan ma’shum dan bada di kalangan Syi’ah, dan persoalan kasab di kalangan Asy’ariyah.
Adapun
sumber ilmu kalam berupa pemikiran yang berasal dari luar Islam dapat
diklasifikasikan dalam dua kategori. Pertama,
pemikiran nonmuslim yang telah menjadi peradaban lalu ditransfer dan
diasimilasikan dengan pemikiran umat Islam. Proses transfer dan asimilasi ini
dapat dimaklumi karena sebelum Islam masuk dan berkembang, dunia Arab (Timur
Tengah) adalah suatu wilayah tempat diturunkannya agama-agama samawi lainnya.
Agama-agama itu beberapa kali diturunkan Allah SWT. di dunia Arab disebabkan
masyarakatnya dikenal sukar ingkar pada kebenaran dan suka berbuat hipokrit.
Oleh sebab itu, secara kultural, mereka adalah orang-orang yang suka
menyelewengkan kebeneran Tuhan, sehingga sangat pantas kalau setiap kali
terjadi penyelewengan selalu terjadi degradasi nilai-nilai kemanusiaan yang
sangat memilukan. Kedua, berupa
pemikiran-pemikiran nonmuslim yang bersifat akademis, seperti filsafat
(terutama dari Yunani), sejarah dan sains.
4. INSTING
Di dalam mimpi, seseorang dapat bertemu,
bercakap-cakap, bercengkrama, dan sebagainya dengan orang lain, bahkan dengan
orang yang telah mati sekalipun. Ketika seorang yang mimpi itu bangun, dirinya
tetap berada di trmpat semula. Kondisi ini telah membentuk intuisi bagi setiap
orang yang telah bermimpi untuk meyakini bahwa apa yang telah dilakukannya
dalam mimpi adalah perbuatan roh lain, yang pada masanya roh itu akan segera
kembali. Dari pemujaan terhadap roh berkembang ke pemujaan terhadap matahari,
lalu lebih berkembang lagi pada pemujaan terhadap benda-benda langit atau alam
lainnya.
Abbas Mahmoud Al-Akkad, pada bagian lain,
mengatakan bahwa sejak pemikiran pemujaan terhadap benda-benda alam berkembang,
di wilayah-wilayah tertentu pemujaan terhadap benda-benda alam berkembang
secara beragam. Di Mesir, masyarakatnya memuja Totemisme. Mereka menganggap suci terhadap burung elang, burung
nasr, ibn awa (semacam anjing hutan), buaya dan lain-lainnya. Anggapan itu lalu
berkembang menjadi pemujaan terhadap matahari. Dari sini berkembang lagi
menjadi percaya adanya keabadian dan balasan bagi amal perbuatan yang baik.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa
kepercayaan terhadap adanya Tuhan, secara instingtif, telah berkembang sejak
keberadaan manusia pertama. Oleh karena itu, sangat wajar kalau William L.
Resee mengatakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan, yang dikenal
dengan istilah theologia, telah
berkembang sejak lama. Ia bahkan mengatakan bahwa teologi muncul dari sebuah
mitos (thelogia was originally viewed as
concerned with myth). Selanjutnya, teologi itu berkembang menjadi “theologi natural” (teologi alam) dan “revealed theology” (teologi wahyu).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa secara historis, ilmu kalam
bersumber pada Al-Qur’an, hadis, pemikiran manusia, dan instink. Ilmu kalam adalah sebuah ilmu yang
mempunyai objek tersendiri, tersistematisasikan, dan mempunyai metodologi
tersendiri. Dikatakan oleh Mushthafa Abd Ar-Raziq bahwa ilmu ini bermula di
tangan pemikir Mu’tazilah, Abu Hasyim, dan kawannya Imam Al-Hasan bin Muhammad
bin Hanafiyah. Adapun orang yang pertama membentangkan pemikirankalam secara
lebih baik dengan logikanya adalah Imam Al-Asy’ari, tokoh ahli sunnah wal
jamaah, melalui tulisannya yang terkenal, yaitu Al-Maqalat, dan Al-Ibanah
An-Ushul Ad-Diyanah.
2.3 SEJARAH TIMBULNYA ILMU KALAM
Menurut pandangan Harun Nasution,
persoapan-persoalan kalam dipicu kemunculannya persoalan-persoalan politik.
Persoalan-persoalan politik yang dimaksud menyangkut peristiwa pembunuhan
Utsman bin Affan yang berujung pada penolakan Mu’awiyah atas kekhilafahan Ali
bin Abi Thalib. Ketegangan antara Mu’awiyah dan Ali mengkristal menjadi perang siffin
yang berakhir dengan keputusan
tahkim (arbitrase). Sikap Ali
yang menerima tipu muslihat Amr Al-Ash, utusan dari pihak Mu’awiyah dalam tahkim, sungguhpun dalam keadaan
terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa
persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim. Putusan hanya datang dari Allah
dengan kembali pada hokum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an. La hukma illa lillah (tidak ada hokum selain dari hokum Allha) atau
la hukma illa Allah (tidak ada
pengantara selain Allah) menjadi semboyan mereka. Mereka memandang Ali bin Abi
Thalib telah berbuat salah. Oleh karena itu, mereka meninggalkan barisannya.
Dalam sejarah Islam, mereka terkenal dengan nama Khawarij, yaitu orang yang
keluar dan memisahkan diri atau seceders.
Di luar pasukan yang membelot Ali
terdapat sebagian besar yang tetap mendukung Ali. Merekalah yang kemudian
memunculkan kelompok Syiah. Watt mengatakan bahwa syiah muncul ketika
berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang siffin. Dalam peperangan ini sebagai
respons atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan Mu’awiyah,
pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung Ali yang
disebut Syiah dan kelompok lain menolak Ali yang disebut Khawarij.
Harun lebih lanjut melihat bahwa
persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan
yang bukan kafir, dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang
masih tetap dalam Islam. Khawarij sebagaimana telah disebutkan, memandang bahwa
orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim,
yaitu Ali, Mu’awiyah, Amr bin Al-Ash, Abu Musa Al-Asy’ari adalah kafir
berdasarkan firman Allah pada Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 44.
Persoalan diatas telah menimbulkan tiga
aliran teologi dalam Islam, yaitu sebagai berikut:
1.
Aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang berdosa
besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam, atau tegasnya murtad dan
wajib dibunuh.
2.
Aliran Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang
berbuat dosa besar tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya
terserah kepada Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.
3.
Aliran Mu’tazilah yang tidak menerima
pendapat-pendapat di atas. Bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir,
tetapi bukan pula mukmin. Orang yang serupa ini mengambil posisi di antara
kedua posisi mukmin dan kafir, yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan
istilah al-manzilah bain al-manzilatain
(posisi di antara dua posisi).
Secara
detail, menurut ‘Abd al-Fattah, faktor-faktor yang ikut membidani lahirnya ilmu
kalam di tengah-tengah kaum muslimin, yaitu:
1)
Faktor-Faktor Internal
Faktor
internal dapat diklasifikasikanmenjadi dua : Al-Qur’an dan peristiwa politik.
Al-Qur’an misalnya, banyak mendorong manusia agar mempunyai ilmu pengetahuan,
melakukan penelitian mengenai fenomena alam, juga mengangkat kedudukan orang
yang berilmu, disamping membantah taklid dalam berakidah dan membantah akidah
yang dibangun dengan spekulasi. Sedagkan peristiwa politik berawal dari fitnah kubra setelah terbunuhnya Utsman
bin Affan, yang melahirkan konflik politik sehingga merembet ke dalama
persoalan akidah, karena masing-masing pihak menjastifikasi kelompoknya dengan
argumentasi teologis.
2)
Faktor-Faktor Eksternal
Faktor
ekstenal ini ada karena pengaruh futuhat
(penaklukan) yang dilakukan oleh kaum muslimin terhadap wilayah Romawi, Persia,
India, yang merupakan tempat lahir dan berkembangnya filsafat serta agama-agama
non-Islam, anatara lain seperti Majusi, Yahudi, Nasrani, Sabi’ah, Manikisme dan
sebagainya. Disamping itu, juga karena faktor-faktor penerjemahan filsafatt ke
dalam bahasa Arab.
Dalam
Islam, timbul dua aliran teologi yang terkenal dengan nama Qadariah dan
Jabariah. Menurut Qadariah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan
perbuatannya. Sebaliknya, Jabariah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai
kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.
Aliran
Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan
Hanbali, yaitu pengikut-pengikut mazhab Ibn Hanbal. Tantangan keras ini
kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang dipelopori Abu
Al-Hasan Al-Asy’ari (935 M). Di samping aliran Asy’ariah, timbul pula di
Samarkand suatu aliran yang bermaksud menentang aliran Mu’tazilah dan didirikan
oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi (w. 944 M). Aliran ini kemudian terkenal
dengan nama teologi Al-Maturidiah.
Aliran-aliran
Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah tidak mempunyai wujud lagi, kecuali dalam
sejarah yang masih ada sampai sekarang adalah aliran-aliran Asy’ariah dan
Maturudiah dan keduanya disebut Ahlussunnah
wal-Jamaah.
BAB
III
PENUTUP
1.1 KESIMPULAN
Ilmu Kalam adalah ilmu yang
membahas masalah-masalah ketuhanan dengan menggunakan argumentasi logika atau
filsafat. Ilmu kalam juga disebut dengan beberapa nama seperti ilmu ushuluddin karena ilmu ini membahas
pokok-pokok agama, ilmu tauhid karena ilmu ini membahas keesaan Allah SWT. Al-Fiqh Al-Akbar karena membahas hal-hal
sangat penting (akbar) yang berkaitan
dengan istilah keyakinan atau pokok-pokok agama.
Sumber-sumber atau
dasar-dasaryang mendorong timbulnya ilmu kalam yaitu dasar Al-Qur’an, hadis,
pemikiran manusia dan insting.
Sejarah timbulnya ilmu kalam
dipicu oleh beberapa hal diantaranya persoalan politik, persoalan siapa yang
kafir dan siapa yang kafir, dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan
siapa yang masih tetap dalam Islam. Persoalan kalam juga telah menimbulkan tiga
aliran dalam Islam, yaitu aliran Khawarij, aliran Mur’jiah, dan aliran
Mu’tazilah. Selain itu timbul juga teologi yang terkenal dengan nama Qadariah
dan Jabariah.
1.2
SARAN
Sebagai umat
Islam kita harus bersatu jangan mudah terpecah belah, janagn mudah percaya dan
terhasut dengan informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya
yang menyebabkan perpecahan umat Islam, jika terdapat masalah selesaikan dengan
jalan musyawarah. Teliti informasi yang kita dapat agar tidak salah dalam
mempelajari dan memahami agama Islam sehingga tidak terjerumus kedalam Islam
yang salah.
Terimakasih Bangg
ReplyDelete