Jurnal Kesibukan Seseorang Menjadi Alasan Menjamak Sholat Menurut Ulama

KESIBUKAN
MENJADI ALASAN MENJAMA’ SHOLAT

AMBARWATI
Institut Agama Islam Negeri Metro
Jl. Kihajar Dewantara 15a kota, Metro Lampung, Indonesia


ABSTRAK
Qashar prayer is to shorten the four rak'ahs of ritual prayers into two rak'ahs. Prayers that can be shortened, according to the clerical kesepapakatan, the four-rak'ah prayers, such as Zhuhur, Ashar, and Isha, not Fajr and Maghrib prayers. unauthorized prayer if done not in accordance with the procedures and time specified. However, under certain conditions Allah gives rukhshah (relief) for those who have difficulty to perform the prayers according to the basic provisions. The purpose of God giving rukhshah (relief) is to remove difficulties and distress. In this paper the authors will examine how the law menjal'shalat for reasons of busyness. Keywords: Busyness, Jamak.

ABSTRAK
Qashar shalat adalah memendekkan rakaat shalat yang berjumlah empat rakaat menjadi dua rakaat saja. Shalat yang bisa dipendekkan, menurut kesepapakatan ulama, yaitu shalat yang berjumlah empat rakaat saja, seperti Zhuhur, Ashar, dan Isya, bukan shalat Subuh dan Maghrib. shalat tidak sah bila dilakukan tidak sesuai dengan tata cara dan waktu yang ditentukan. Namun demikian dalam kondisi-kondisi tertentu Allah memberikan rukhshah (keringanan) bagi orang-orang yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan shalat sesuai dengan ketentuan dasar tersebut. Tujuan Allah memberikan rukhshah (keringanan) adalah untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan. Dalam makalah ini penulis akan mengkaji bagaimana hukumnya mengqashar shalat dan menjama’shalat dengan alasan kesibukan. Keywords: Kesibukan, Jamak.

A.           Pendahuluan
Hukum Islam adalah hukum yang didasarkan atas wahyu Allah. Sumber pokoknya adalah al-Qur`an dan al-Sunnah. Allah SWT dalam menetapkan hukum selalu memperhatikan kemampuan manusia dan memberikan kemudahan pada saat manusia menghadapi kesulitan. Allah SWT tidak serta merta menetapkan hukum tanpa memperdulikan sisi kemanusiaan manusia. Bahkan Allah menghendaki yang mudah dan sepadan dengan kemampuan manusia. Nabi Muhammad juga selalu memilih yang termudah jika dihadapkan pada dua pilihan, selama tidak mendatangkan dosa. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
َتَشِ ائ َ ع ْهَ ع ِرْيَبُّ الز ِهْ ب َةَوْرُ ع ْهَ ع ٍ اب َهِ ش ِهْ اب ْهَ ع ٌكِ ال َ ا م َوَرَبْخَ أ َفُ ىس ُ ي ُهْ ب ِ َّ اللَّ ُدْبَ ا ع َىَثَّدَح ْ َ  َ الَ  اَهَّوَ ا أ َهْىَ ع ُ َّ اللَّ َ ِ َ ذَخَ أ َّ لَِّ إ ِهْيَرْمَ أ َهْيَ ب َمَّلَسَ و ِهْيَلَ ع ُ َّ ى اللَّ َّلَ ص ِ َّ اللَّ ُ ىل ُسَ  َرِّيُ ا خ َم  ُهْىِ م ِ اسَّ الى َدَعْبَ أ َ ان َ ا ك ًمْثِ إ َ ان َ ك ْنِإَ ا ف ًمْثِ إ ْهُكَ ي ْمَ ا ل َ ا م َمُهَرَسْيَأ

Tidak sekali-kali nabi dihadapkan kepada dua pilihan kecuali beliau memilih yang lebih ringan sepanjang tidak jatuh kedalam dosa. Tetapi jika menimbulkan dosa, maka nabi SAW adalah orang yang paling menjahuinya
Sebagai bukti bahwa Allah tidak memberikan beban berat kepada hambahnya dan selalu memberikan kemudahan pada manusia adalah pemberian keringan (rukhsah) terhadap orang yang berhalangan melakukan ibadah shalat dengan jama` dan qashar juga mengqadha shalatnya. Menurut para ulama boleh menjama’ sholat ketika dalam kondisi berikut: bahaya (takut), Safar (bepergian), sakit, hujan, haji, selebihnya, mereka berbeda pandangan. Inilah syari’at yang sangat memudahkan, walau bukan berarti mempermudah semuanya tanpa ada petunjuk yang jelas.
Shalat adalah ibadah ritual yang telah ditetapkan tata cara dan waktu pelaksanaannya oleh Allah, Swt. Oleh karena itu shalat tidak sah bila dilakukan tidak sesuai dengan tata cara dan waktu yang ditentukan. Namun demikian dalam kondisi-kondisi tertentu Allah memberikan rukhshah (keringanan) bagi orangorang yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan shalat sesuai dengan ketentuan dasar tersebut. Tujuan Allah memberikan rukhshah (keringanan) adalah untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan. Bentuk keringan itu adalah dibolehkannya menjamak dan mengqashar shalat. Dalam kitab-kitab fikih klasik dijelaskan bahwa alasan dibolehkannya menjamak dan mengqashar shalat adalah perjalanan jauh. Namun dalam kenyataan kehidupan sekarang banyak ditemukan keadaan-keadaan yang lebih menyulitkan dibandingkan perjalanan jauh. Untuk memenuhi hajat kehidupan yang bertaraf dharuriyat (kebutuhan esensial), menyangkut nafkah kehidupan, banyak yang bekerja sepenuh waktu, sebagai supir taksi, karyawan pabrik, penambang, pekerja bengkel, pilot dan co pilot, dokter dan pasien, terjebak kemacetan lalu lintas, dan lainnya yang mengakibatkan mereka mengalami kesulitan dalam menunaikan kewajiban shalat pada waktunya. Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian untuk merespon realitas yang terjadi di zaman modern tersebut. Dalam makalah ini penulis akan mengkaji bagaimana hukumnya menjama’shalat dengan alasan macet dan kesibukan.

B.            Pengertian Salat Jama’
Jamak secara bahasa berarti mengumpulkan. Maksudnya ialah mengumpulkan dua shalat yang dikerjakan pada satu waktu. Shalat jamak ada dua macam. yaitu jamak taqdim dan jamak takhir. Jamak taqdim adalah mengumpulkan dua shalat yang dikerjakan sekaligus di waktu shalat yang lebih awal. seperti mengumpulkan shalat Zuhur dan ashar yang dikerjakan di waktu Zuhur atau mengumpulkan shalat maghrib dan isya (Ensiklopedia Islam, 1997: 1572).dikerjakan di waktu Maghrib.[1]
Sedangkan jamak takhir ialah mengumpulkan dua shalat yang dikerjakan sekaligus di waktu shalat yang terakhir. seperti mengumpulkan shalat zuhur dan ashar yang dikerjakan di waktu Ashar atau mengumpulkan shalat maghrib dan isya yang dikerjakan di waktu Isya. Shalat yang boleh dijamakhanyalah yang waktunya berdekatan dan ditentukan. yaitu shalat Zuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya (Zuhri, 1994: 237).
Disyaratkan bepergian untuk menjamak itu harus bukan bepergian maksiat, oleh karena itu, bepergianya itu meliputi yang (wajib) seperti pergi haji dan pergi untuk membayar hutang, juga meliputi yang (sunnat), seperti haji tatawwuk, bepergian yang di perbolehkan, (mubah) seperti pergi berdagang dan tamasya, bepergian yang (makruh), seperti bepergian seorang diri tanpa berteman  Syaikh Abu Muhammad berkata : Di antara tujuan yang rusak adalah bertowafnya golongan orang-orang sufi untuk melihat-lihat kota-kota atau negri lain.
Imam Haromain mengatakan : Bepergian itu tidak di syaratakan harus bepergian karena ketaatan, dengan kesepakatan para ulama. Maksud dari “bukan karna maksiat” adalah terkecuali dari bepergian karena maksiat, seperti bepergian untuk menyamun, memeras, mendatangkan arak dan ganja dan orang-orang yang di perintahkan oleh orang-orang zalim untuk mengambil uang sogok atau memungut pajak serta perjalanan wanita yang tidak mendapat izin dari suami. Juga perjalanan budak (hamba) yang melarikan diri dan bepergianya orang yang berhutang yang berkuasa membayar hutangya tanpa mendapat izin pergi dari orang yang berpiutang. Semua hal tersebut dan hal-hal yang sejenisnya tidak dapat mengambil kemurahan qhasar, sebab qashar itu adalah kemurahan dari allah, sedangkan bepergian maksiat itu tidak masuk terhadap kemurahan atau rukhshah tidak dapat di kaitkan dengan perbuaatan maksiat.
Apabila orang maksiat sebab bepergianya itu tidak boleh mengqashar, maka juga tidak diperbolehkan mengumpulkan dua shalat dalam satu waktu dan tidak boleh juga menjalankan shalat dalam kendaraan, tidak boleh mengusap muzah  dalam waaktu tiga hari dan tidak boleh makan bangkai sekaalipun sekalipun di kala sangat membutuhkan.
 Demikian yang di riwayatkan imam Nawawi di dalam Syarah AL-Muhadzdzab tanpa adakhilaf. Tetapi di dalam kitab Ar-Raudhah ada berita yang mengecualikan memakan bangkai, dan hal ini tidak boleh di pakai. Seandainya seorang bertemu dengan orang zalim di padang belantara, maka tidak usah memberinya minum waalaaupun ia akan maati, supaya semua penduduk negrinya termasuk pepohonan daan binatang-binatang terselamat dari kedzaalimanya dan dapat hidup nyaman, tentram dan aman, demikian yang di riwayatkan oleh Sufyan As- Tsauri keterangan di dalam Kifayatul akhyar.

C.           Dasar Hukum al-Qur’an
Masalah jama’ dan qashar shalat terdapat dalam Alquran dan Hadis.[2]
  َ نِ وا م ُ رُصْ قَ  ت ْ نَ أ ٌ احَ نُ ج ْ مُ كْ يَ لَ ع َسْ يَ لَ  ف ِضْ رَْ الْ ِ فِ ْ مُ تْ بَ رَ ا ض َ ذِ إَ و ْ نَ أ ْ مُ تْ فِ خ ْ نِ إ ِ ةَ لََّ الص ا وُ انَ ك َ ينِ رِ افَ كْ ال َّ نِ وا إ ُ رَ فَ ك َ ينِ ذَّ ال ُ مُ كَ نِ تْ فَ ي اً ينِ بُ ا م ًّ وُ دَ ع ْ مُ كَ ل 
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu” (Q.S. Annisa’: 101)
Ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil shalat qashar dalam perjalanan. Namun mereka berbeda pendapat mengenai perjalanan itu sendiri. Ada ulama yang mensyaratkan perjalanan itu dalam rangka ketaatan. Ada pula ulama yang tidak mensyaratkan demikian, namun perjalanannya menyangkut kepentingan yang mubah. Dari ketentuan itu dikecualikan perjalanan dalam rangka kemaksiatan. Ini merupakan pendapat madzhab Syafi’i, Ahmad, dan para imam lainnya. Ada pula ulama yang berpendapat bahwa perjalalan itu bersifat mutlak, termasuk perjalanan dalam rangka kemaksiatan. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Al-Tsauri, dan Dawud. Pandangan mereka ini berdasarkan keumuman ayat. Pendapat ini berbeda dengan pendapat jumhur.
Menurut Ash-Shabuni bahwa makna ayat tersebut menjelaskan tentang kebolehan meng-qashar shalat fardhu yang mulanya empat rakaat menjadi dua rakaat bagi orang yang dalam perjalanan. Perjalanan yang dimaksud disini bisa perjalanan dalam rangka perniagaan, berburu dan lain sebagainya. Kebolehan mengqashar shalat ini menunjukkan bahwa agama Islam adalah agama yang mudah dan Allah swt. Juga menginginkan kemudahan bagi manusia dan tidak menginginkan kesulitan.4 Walaupun dalam ayat tersebut terdapat kata-kata:
إن خفتم أن يفتنكم الذين كفروا
Namun kata-kata “Khauf” (khawatir diserang orang kafir) tersebut tidaklah merupakan syarat dibolehkannya mengqashar shalat. Penyebutan itu hanya sebagai penjelasan tentang resiko yang biasa ditemukan dalam suatu perjalanan.
Menurut Ibnu Katsir ketentuan ini (khawatir diserang orang kafir) merupakan pengecualian dari keadaan yang mendominasi pada saat turun ayat ini. Sesungguhnya pada permulaan Islam dan setelah hijrah perjalalan yang dilakukan kaum muslimin diliputi oleh ketakutan, bahkan mereka tidak pernah bepergian kecuali untuk melakukan perang bersama atau pergi dalam sebuah rombongan khusus.
Hal ini dikuatkan oleh hadis:
 َ سْ يَ : {ل ِ ابَّطَْ الْ ِ نْ ب َ رَ مُ عِ ل ُتْ لُ : ق َ الَ ق ،َ ةَّ يَ مُ أ ِ نْ ى ب َ لْ عَ  ي ْ نَ ع ْ نَ أ ٌاحَ نُ ج ْ مُ كْ يَ لَ ع ُ مُ كَ نِ تْ فَ  ي ْ نَ أ ْ مُ تْ فِ خ ْ نِ إ ،ِ ةَ لََّ الص َ نِ وا م ُ رُصْ قَ ت  ،ُ هْ نِ م ُتْ بِ جَ ا ع َِّ مِ ُتْ بِ جَ : ع َ الَ قَ  ف،ُ اسَّ الن َ نِ مَ أ ْ دَ قَ وا} ف ُ رَ فَ ك َ ينِ ذَّ ال
 َ الَ قَ  ف ،َكِ لَ ذ ْ نَ ع َ مَّ لَ سَ و ِ هْ يَ لَ ع ُ ى الله َّ لَ ص ِ الله َ ول ُ سَ ر ُتْ لَ أَ سَ ف « اَِ بُِ الله َ قَّ دَصَ تٌ ةَ قَ د ه َص َ تَ قَ دَ وا ص ُ لَ بْ اقَ ف،ْ مُ كْ يَ لَ

Dari Ya’la ibn Umayyah, ia berkata: Aku berkata kepada Umar ibn Khatthab: Bagaimanakah maksud ayat: “Tidak ada dosa atas kamu bila mengqashar shalat jika kamu takut diganggu orang kafir” padahal sekarang keadaan sudah aman? Lalu Umar berkata: saya dulu juga heran sebagaimana halnya anda, lalu saya tanyakan kepada Rasulullah s.a.w., tentang hal itu, kemudian rasul bersabda: itu adalah shadaqah yang diberikan Allah kepadamu, maka terimalah shadaqah Allah itu.

D.           Dasar Hukum Hadis
Di antara hadis-hadis (dipilih hanya yang sahih), adalah berikut.[3]
  ِ نَ ع ،ٌ رَ مْ عَ ا م َ نَ ثَّ دَ ح ،ٍ عْ يَ رُ ز ُ نْ ب ُ يدِ زَ ا ي َ نَ ثَّ دَ ح ،ٌ دَّ دَسُ ا م َ نَ ثَّ دَ ح :ْتَ الَ ق ،اَ هْ نَ ع ُ هَّ الل َ يِضَ ر َ ةَشِ ائَ ع ْ نَ ع ،َ ةَ وْ رُ ع ْ نَ ع ،ِّي ِ رْ هُّ الز « ُ ةَلََّ الص ِ تَضِ رُ ف َ مَّ لَ سَ و ِ هْ يَ لَ عُ ى الله َّ لَ ص ُِّ بَِّ الن َ رَ اجَ هَُّ ثُ ،ِْ يَْ تَ عْ ك َ ر َ ولُ ى الْ َ لَ عِ رَ فَّ الس ُ ةَلََ ص ْتَ ك ِ رُ تَ و،اً عَ بْ رَ أ ْتَضِ رُ فَ 8 ف

 Memberitakan Musaddad kepada kami,memberitakan Yazid ibn Zarai’ kepada kami, memberitakan ma’mar kepada kami, (diterima) dari Zuhri (diterima) dari ‘Urwah (diterima) dari Aisyah r.a., ia berkata: shalat itu diwajibkan (pada awalnya) dua rakaat, kemudian setelah Nabi Hijrah maka diwajibkan shalat empat rakaat. Sedangkat shalat dalam perjalanan tetap dibiarkan seperti semula (dua rakaat).

ِ نْ ب ِ حِ الَ ص ْ نَ ع ،ٍ كِ الَ ى م َ لَ ع ُتْ أَ رَ : ق َ الَ ق ،َ يََْ يَ ُ نْ ب َ يََْ ا يَ َ نَ ثَّ دَ ح ُ ى الله َّ لَ ص ِِّ بَِّ الن ِ جْ وَ ز،َ ةَشِ ائَ ع ْ نَ ع،ِْ يَْ بُّ الز ِ نْ بَ ةَ وْ رُ ع ْ نَ ع،َ انَسْ يَ ك :ْتَ الَ ا ق َ هَّ نَ أ ،َ مَّ لَ سَ و ِ هْ يَ لَ « ع َ تَ عْ ك َ ر ُ ةَ لََّ الص ِ تَضِ رُ ف ِ فِ ِْ يَْ تَ عْ ك َ ر ِْ يْ
 ِ رَضَْ الْ ِ ةَ لََ ص ِ فِ َ يدِ زَ و،ِ رَ فَّ الس ُ ةَ لََ ص ْتَّ رِ قُ أَ ف،ِ رَ فَّ الس َ وِ رَضَْ 9 الْ

Yahya ibn Yahya memberitakan kepada kami, ia (Yahya) berkata: aku telah menyampaikan kepada Malik (diterima) dari Shalih ibn Kaisan (diterima) dari Urwah ibn al- Zubair (diterima) dari Aisyah isteri Nabi. s.a.w., bahwasanya ia berkata: shalat itu diwajibkan dua rakaat dua rakaat baik pada waktu menetap maupun bepergian. Lalu ditetapkan pada shalat dalam bepergian dan ditambahkan pada shalat orang yang menetap di rumah.

أ  ْ نَ ع ،ِّي ِ رْ هُّ الز :ْتَ الَ ق َ ةَشِ ائَ ع ْ نَ ع ،َ ةَ وْ رُ « ع ِْ يَْ تَ عْ ك َ ر ُ ةَ لََّ الص ِ تَضِ رُ ا ف َ م َ لَّ وَ أ رَضَْ الْ ُ ةَ لََ ص ْت َِّ تُِ أَ وِ رَ فَّ الس ُ ةَ لََ ص ْتَّ رِ قُ أ  ف
Ishaq ibn Ibrahim memberitakan kepada kami, Sufyan memberitakan kepada kami, (diterima) dari Al-Zuhri, (diterima) dari ‘Urwah, (diterima) dari ‘Aisyah ia berkata: pada awalnya shalat itu diwajibkan dua rakaat, lalu ditetapkan pada shalat dalam bepergian dan disempurnakan (empat rakaat) pada shalat orang yang menetap di rumah.

ح َ انَ رْ مِ ع ْ نَ ع،َ ةَ رْضَ ن ِ بَِ أ ْ نَ ع،ٍ دْ يَ ز ِ نْ ب ِّ يِ لَ ع ْ نَ ع، ُ ى الله َّ لَ ص ِ هَّ الل ِ ول ُ سَ ر َ عَ م ُتْ دِ هَ : ش َ الَ ق ٍْ يَْصُ ح ِ نْ ب ِ هْ يَ لَ ع  َ مَّ لَ سَ و َُّ ثُ ،ِْ يَْ تَ عْ ك َ ر َّ لَِ ي إ ِّ لَ صُ ي َ لَ ً ةَ لْ يَ ل َ ةَ رْشَ ع ِ انََ ثَ َ ةَّ كَِ بِ َ امَ قَ أَ ف ،َحْ تَ فْ ال :ِ دَ لَ بْ ال ِ لْ هَِ لْ ُ ول ُ قَ ر « ي ْ فَ ا س َّ نِ إَ ا؛ ف ً عَ بْ رَ وا أ ُّ لَ  11 ص

Isma’il menceritakan kepada kami, (diterima) dari Ali ibn Zaid (diterima) dari Abi Nadhrah (diterima) dari ‘Imran ibn Hushain, ia berkata: Aku mengikuti penaklukan Mekah bersama Nabi s.a.w., lalu beliau tinggal di Makkah selama delapan belas hari, beliau tidak pernah shalat kecuali dua rakaat, kemudian beliau bersabda, “Hai penduduk Makkah, shalatlah empat rekaat, karena kami adalah musafir.”

نْ ب ِصْ فَ ح ِ نْ ى ب َيسِ ع ْ نَ ع ،َ يََْ ا يَ َ نَ ثَّ دَ : ح َ الَ ق ،ٌ دَّ دَسُ ا م َ نَ ثَّ دَ ح :ُ ول ُ قَ  ي،َ رَ مُ ع َ نْ اب َ عِ َ سُْ هَّ نَ : أ ِ بَِ أ ِ نَِ ثَّ دَ : ح َ الَ ق،ٍ مِاصَ « ع ُ تْ بِ حَص ِ هْ يَ لَ عُ ى الله َّ لَ ص ِ هَّ الل َ ول ُ سَ ر ىَ لَ ع ِ رَ فَّ الس ِ فِ ُ يدِ زَ يَ لَ َ انَ كَ ف َ مَّ لَ سَ و
 ْ مُ هْ نَ عُ هَّ الل َ يِضَ ر َكِ لَ ذَ ك َ انَ مْ ثُ عَ و،َ رَ مُ عَ و،ٍ رْ كَ ا ب َ بَ أَ و،ِْ يَْ تَ عْ ك َ

Musaddad menceritakan kepada kami, ia berkata: Yahya menceritakan kepada kami (diterima) dari ‘Isa ibn Hafash ibn ‘Ashim, ia berkata: ayahku memberitakan kepadaku bahwasanya ia mendengar Ibnu ‘Umar mengatakan: Aku pernah menemani Rasulullah s.a.w., dalam suatu perjalanan, maka beliau shalat tidak lebih dari dua rakaat selama perjalanan itu, begitu pula Abu Bakar, Umar dan ‘Utsman, r.a.
Ulama berbeda pendapat tentang masalah mengqashar shalat pada waktu dalam perjalanan (safar). Menurut Syafi’i, Malik ibn Anas dan kebanyakan ulama, boleh mengqashar shalat dan menyempurnakan shalat, akan tetapi mengqashar shalat lebih utama. (An Nawawi berkata): Dikalangan kami ada pendapat yang menyatakan bahwa menyempurnakan shalat lebih utama. Dan satu pendapat lagi yang menyatakan bahwa kedua pendapat itu sama. Tetapi pendapat yang lebih tepat dan masyhur adalah bahwa mengqashar lebih utama.
Sedangkan menurut Abu Hanifah dan kebanyakan ulama yang lain bahwa mengqashar shalat dalam perjalanan itu hukumnya wajib dan tidak boleh menyempurnakan bilangan rakaat dengaberhujjah kepada hadis yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. disampin itug Nabi. s.a.w. dan para sahabat sering mengqashar shalat dalam perjalanan.
Imam Syafi’i dan ulama yang sependapat dengannya berhujjah dengan hadis yang terdapat dalam shahih Muslim yang menjelaskan para sahabat r.a. sewaktu bersafar bersama Rasulullah s.a.w. ada yang mengqashar shalat dan ada pula yang menyempurnakan rakaat shalat. Di antara mereka ada yang berpuasa dan ada pula yang berbuka. Mereka tidak ada yang saling menyalahkan. Utsman, Aisyah dan lain-lain biasa meyempurnakan rakaat shalat. Hal ini berdasarkan zhahir firman Allah, s.w.t.
  فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلَة

Inilah yang dimaksud tidak adanya dosa dan hukumnya dibolehkan.
Ulama berbeda pendapat tentang jarak bolehnya mengqashar shalat. Perbedaan pendapat dalam masalah ini menurut Ibn Munzir mencapai dua puluh pendapat. Mazhab Zhahiri berpendapat sesuai dengan hadis ini, yaitu bahwa jarak bolehnya mengqashar itu adalah tiga mil.16 Disamping itu ada yang berpendapat bahwa jarak minimal bolehnya meng-qashar shalat itu tiga farsakh. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat jaraknya empat barid. Mengenai batas waktu qashar terdapat sebelas pendapat yang berbeda-beda. Hanya saja yang populer ada tiga: Mazhab Malik dan Syafi’i menyatakan bahwa kalau musafir sudah berniat menetap di tempat tujuan selama empat hari, shalatnya tidak boleh lagi diqashar. Mazhab Abu Hanifah dan Sufyan Tsauri menyatakan bahwa kalau musafir sudah berniat menetap di tempat tujuan selama lima hari, shalatnya tidak boleh diqashar.
Mazhab Ahmad dan Daud menyatakan kalau musafir sudah berniat menetap di tempat tujuan lebih dari empat hari shalatnya tidak boleh lagi diqashar. Perbedaan pendapat tersebut karena hal itu tidak termuat dasarnya jelas dalam syara’. Sedangkan qiyas yang membatasi waktunya adalah dha’if menurut mayoritas ulama. Maka masing-masing pendapat mendasarkan hukumnya kepada hukum musafir selama masih dalam perjalanan.
 Dari penjelasan ayat al-Quran maupun Hadis Nabi yang disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa meringkas shalat merupakan rukhshah yang diberikan oleh Allah kepada orang yang dalam perjalanan musafir. Bila dilihat dari ayat yang berbicara masalah qashar shalat maka tampaknya qashar itu hanya dibolehkan bagi orang yang bepergian atau dalam perjalanan. Oleh karena itu hukum mengqashar shalat di saat mengalami kemacetan dalam perjalanan bila melihat kepada keumuman ayat surat Annisa’ ayat 101 di atas boleh dilakukan. Ayat tersebut tidak ada memberikan batasan perjalanan yang membolehkan untuk mengqashar shalat. Adapun batasan bolehnya mengqashar di dalam hadis juga terdapat perbedaan( ikhtilaf). Ada hadis yang memberikan batasannya tiga mil dan ada pula tiga farsakh.
Oleh karena itu menurut penulis menjama’ shalat dengan alasan macet adalah boleh bila dikhawatirkan waktu shalat akan luput. Adapun mengqashar shalat dengan alasan kesibukan tidak boleh dilakukan karena tidak ada nash baik al-Quran maupun hadis yang melegalkannya. Oleh karena itu bila seseorang mengalami situasi yang sangat sibuk dan mendesak (seperti dokter yang sedang mengoperasi pasien) maka solusi yang dapat dilakukan adalah menjama’ shalat.





E.            Syarat-syarat Jama’
Dibolehkan seseorang itu menjama’ shalat Zuhur dengan Ashar baik secara taqdim maupun ta’khir, begitupun dibolehkan menjamak Maghrib dengan Isya bila ditemukan salah satu di antara hal-hal berikut ini[4]:
a.              Menjama’ di Arafah dan Mudzdalifah Para ulama sependapat bahwa menjama’ shalat Zuhur dan Ashar secara taqdim pada waktu zuhur di Arafah begitu  pun antara Maghrib dan Isya secara ta’khir di Mudzdalifah hukumnya sunat, berpedoman kepada apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
b.             Menjama Dalam Bepergian Menjama’ dua shalat ketika bepergian, pada salah satu dari kedua waktu itu, menurut sebagian besar para ahli hukumnya boleh, tanpa ada perbedaaan, apakah dilakukannya itu sewaktu berhenti, ataukah selagi dalam perjalanan.
c.              Menjama’ di waktu Hujan Dalam sunannya Al Atsram meriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman mengatakan bahwa termasuk sunnah Nabi saw. Menjama’ shalat Maghrib dengan Isya apabila hari hujan lebat
d.             Menjama’ Sebab Sakit Atau Uzur Imam Ahmad, Qadhi Husein, Al Khathabi dan Al Mutawalli dari golongan Syafi’i membolehkan menjama’ baik takdim ataupun ta’khir disebabkab sakit, dengan alasan karena kesukaran pada waktu itu lebih besar dari kesukaran di waktu hujan. Ulama-ulama Hanbali memperluas keringan ini, hingga mereka membolehkan pula menjama’ baik taqdim mapun ta’khir karena pelbagai macam halangan dan juga ketakutan. Mereka membolehkan orang  yang sedang menyusui bila sukar baginya buat mencuci kain setiap hendak shalat. Juga untuk wanita-wanita yang sedang istihadhah, orang yang ditimpa silsalatul baul (kencing berkepanjangan), orang yang tidak dapat bersuci yang mengkhawatirkan bahaya bagi dirinya pribadi, bagi harta dan kehormatannya, juga bagi orang yang takut menjadi rintangan dalam mata pencariannnya sekiranya ia meninggalkan jama’.
e.              Menjama’ Sebab Ada Keperluan Dalam syarah Muslim Nawawi berkata: beberapa imam membolehkan jama’  bagi orang yang tidak musafir, bila ia ada suatu kepentingan asal saja hal itu tidak dijadikan kebiasaan. Hal ini dikuatkan oleh lahirnya ucapan Ibnu Abbas bahwa jama’ itu dimaksudkan agar tidak menyukarkan umat.
Menurut ulama mazhab Maliki, menjamak shalat dalam perjalanan dibolehkan secara mutlak, baik perjalanan yang panjang (jauh) maupun dekat. Orang sakit boleh melakukan jamak shalat apabila sulit melakukan shalat pada waktunya atau merasa khawatir terhadap penyakitnya bertambah parah atau membuatnya hilang akal. Adapun dalam keadaan hujan lebat, musim dingin/salju, atau hari yang sangat gelap, yang dibolehkan hanya jamak taqdim.[5] 
Untuk melakukan shalat jamak taqdim dalam perjalanan menurut ulama mazhab Maliki disyaratkan dua hal, yakni tergelincir/condongnya matahari ke arah Barat pertanda masuknya waktu Zuhur dan berniat berangkat sebelum waktu ashar. Kemudian ulama mazhab Maliki menyatakan bahwa shalat jamak dilakukan dengan satu kali azan dan iqamat bagi setiap shalat.
Menurut ulama mazhab Syafi`i, shalat jamak boleh dikerjakan dalam perjalanan, karena hujan lebat, dan ketika mengerjakan manasik haji di Arafah dan Muzdalifah. Shalat jamak karena dingin, musim salju, dan hujan lebat hanya boleh dengan jamak taqdim yang dilakukan secara berjama`ah di mesjid yang jauh.  Menurut ulama mazhab Syafi`i, untuk melaksanakan jamak taqdim disyaratkan enam hal, yaitu[6]:
a.    niat jamak taqdim;
b.    shalat itu dilakukan secara berurutan sesuai dengan urutannya, seperti mendahulukan Zuhur daripada Ashar;
c.    kedua shalat itu dilaksanakan tanpa tenggang waktu yang panjang;
d.   perjalanan yang dilakukan masih berlanjut ketika shalat yang kedua dimulai;
e.      (5) waktu shalat pertama masih ada ketika shalat kedua dikerjakan; dan
f.       yakin bahwa shalat pertama yang dikerjakan adalah sah.
Sedangkan syarat jamak takhir ada dua hal, yaitu niat jamak takhir sebelum habisnya waktu shalat pertama dan perjalanan masih berlanjut sampai selesainya shalat kedua. Urutan dalam mengerjakan shalat jamak takhir tidaklah wajib Seseorang boleh mendahulukan Ashar dari Zuhur dalam jamak takhir. demikian juga mendahulukan Isya dari Maghrib. Akan tetapi. ulama  Mazhab Syafi`i tetap mengatakan bahwa mengikuti urutan waktu shalat hukumnya sunnah. bukan syarat sahnya shalat jamak takhir (Baqi, 2003: 395). Menurut ulama Mazhab Hanbali. jamak taqdim dan takhir boleh dilakukan dalam tujuh hal berikut:
1)   perjalanan menempuh jarak yang jauh yang menyebabkan seseorang boleh mengqashar shalatnya
2)   sakit yang membawa kesulitan bagi penderitanya untuk melaksanakan shalat pada waktunya[7]
3)   orang yang menyusui anak karena sulit membersihkan diri dari najis anak setiap waktu shalat
4)   orang yang tak mampu bersuci dengan air atau bertayamum pada setiap shalat karena mengalami kesulitan
5)   orang yang tidak bisa mengetahui masuknya waktu shalat
6)   wanita yang istihadhah (wanita yang mengeluarkan darah terus menerus dari vaginanya karena penyakit[8]
7)   sering keluar madzi (lendir yang keluar mengawali keluarnya mani) juga seringnya keluar mani. atau ada uzur. seperti orang khawatir terhadap keselamatan diri. harta. dan kehormatan. atau juga pekerja berat yang apabila meninggalkan pekerjaannya untuk melaksanakan shalat akan membawa mudharat pada dirinya dan pekerjaannya itu.
Berdasarkan hadits rasulullah SAW, bahwa syarat-syarat mengqadha shalat ada dua hal, yaitu tertidur dan lupa. Sabda rasulullah SAW:
 اََْشَكَ ا ر َرِ ا إ َِّٓهَصُْٛهَ ا ف َِْٓٛسََ َْٔ أ ٍج َ ) لَ(سٔاِ انثخاسٖ ٔيسهى َ ص ٍَْ ع َ او ََ ٍَْ  ي “Barang siapa yang meninggakan shalat karena tidur atau lupa maka hendaknya ia sholat bila ingat”. (HR. Bukhari Muslim) 
Hadits ini menunjukan bahwa siapa yang meninggalkan shalat dengan uzur maka wajib menggantinya bila mengingatnya. secara tersirat dapat dipahami bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja maka kewajiban menggantinya lebih utama dari pada yang meninggalkannya karena uzur.[9]

F.            Menjama’ Sholat dengan Alasan Kesibukan
Menjama’ shalat adalah menggabungkan antara shalat Ashar dengan Zuhur dan Maghrib dengan Isya, baik itu dilakukan lebih awal pada waktu shalat yang pertama (zuhur dan maghrib) atau diakhirkan pada waktu yang kedua (Ashar dan Isya). Bila dilakukan pada waktu yang pertama disebut jama’ taqdim dan bila dilakukan pada waktu yang kedua disebut jama’ ta’khir. Berikut ini menjama’ sholat dikarenakan ada kesibukan atau keperluan yaitu:
Menjama’ sholat dalam perjalanan atau sedang mengemudi.
Jika pilihannya hanya menjamak saja, maka mereka yang sedang dalam perjalanan boleh menggabungkan dua shalat dalam satu waktu, namun hitungan rakaatnya tetap sempurna. Misalanya menjamak shalat zuhur dengan ashar pada waktu ashar (jamak ta’khir), maka musafir  boleh melewatkan waktu zuhur dan sengaja tidak shalat zuhur pada waktunya, dengan catatan sudah berazam (berniat) untuk menjamaknya dengan shalat ashar, tiba waktunya waktu ashar, maka musafir ini boleh mendalahukuan shalat zuhur empat rakaat lalu kemudian berdiri lagi untuk melaksankan shalat ashar empat rakaat, boleh juga mendahulukan ashar baru kemudian setelah itu melaksankan zuhur.[10] Namun khusus untuk jama’ taqdim maka wajib mendahlukan zuhur baru ashar.
Tapi jika pilihannya jamak plus qashar, maka pemudik boleh menjamak dua shalat dalam satu waktu dan pada saat yang sama boleh memendekkan jumlah rakaat yang empat menajadi dua. Misalnya shalat zuhur dan ashar dikerjakan pada waktu zuhur, maka pemudik mula-mula shalat zuhur dua rakaat, lalu setelah salam berdiri lagi dan megerjakan shalat ashar yang juga dua rakaat, dan setelah itu bisa meneruskan perjalanannya. Jika shalatnya magrib dan isyak, maka magrib tetap dikejakan tiga rakaat, lalu setelah itu berdiri lagi untuk melaksankan isyak dengan dua rakaat. Dasar hukum bolehnya menjama’ shalat terdapat dalam Hadis Nabi. s.a.w. diantara hadis yang menjelaskan tentang menjama’ shalat adalah sebagai berikut:

  ُّ يِ لْ مَّ الر ٍ بَ هْ وَ م ِ نْ ب ِ هَّ الل ِ دْ بَ ع ِ نْ ب َ يدِ زَ ي ِ نْ ب ِ دِ الَ خ ُ نْ ب ُ يدِ زَ ا ي َ نَ ثَّ دَ ح
 ُ لَّضَ فُ مْ ا ال َ نَ ثَّ دَ ح ،ُِّ انَِ دْ م َْ الْ  ْ نَ ع ،ٍ دْ عَ س ُ نْ ب ُثْ يَّ الل َ و ،َ ةَ الَضَ ف ُ نْ ب ِ نْ ب ِ اذَ عُ م ْ نَ ع،ِ لْ يَ فُّ الط ِ بَِ أ ْ نَ ع،ِْ يَْ بُّ الز ِ بَِ أ ْ نَ ع،ٍ دْ عَ س ِ نْ ب ِ امَشِ ه َ وكُ بَ  تِ ةَ وْ زَ غ ِ فِ َ انَ ك َ مَّ لَ سَ وِ هْ يَ لَ عُ ى الله َّ لَ صِ هَّ الل َ ول ُ سَ ر َّ نَ أ،ٍ لَ بَ ج
أ َلْ بَ  ق ُسْ مَّ الش ِ تَ اغَ ا ز َ ذِ إ ،ِ رْصَ عْ الَ و ِ رْ هُّ الظ َْ يَْ  ب َ عََ جَ ،َلَِ تَْ رَ  ي ْ ن َ ل ِ زْ نَ  ي َّ تََّ ح ،َ رْ هُّ الظ َ رَّخَ أ ،ُسْ مَّ الش َ يغِ زَ ت ْ نَ أ َلْ بَ  ق ْلَِ تَْ رَ  ي ْ نِ إَ و ْ نَ أ َلْ بَ  ق ُسْ مَّ الش ِ تَ ابَ غ ْ نِ إ ،َكِ لَ ذ ُلْ ثِ م ِ بِ رْ غَ مْ ال ِ فَِ و ،ِ رْصَ عْ لِ ل
 َ و ِ بِ رْ غَ مْ ال َْ يَْ  ب َ عََ جَ ،َلَِ تَْ رَ ي  َ يبِ غَ ت ْ نَ أ َلْ بَ  ق ْلَِ تَْ رَ  ي ْ نِ إَ و ،ِ اءَشِ عْ ال اَ مُ هَ نْ يَ  بَ عََ جََُّ ثُِ اءَشِ عْ لِ ل َ لِ زْ نَ  ي َّ تََّ ح َبِ رْ غَ مْ ال َ رَّخَ أ،ُسْ  مَّ الش

Yazid ibn Khalid ibn Yazid ibn Abdillah ibn Mauhab al-Ramliy al-Hamdaniy menceritakan kepada kami, Al-Mufadhal ibn Fadhalah dan Laits ibn Jabal menceritakan kepada Kami, (diterima) dari Hisyam ibn Sa’ad (diterima) dari Abi al-Zubair (diterima) dari Abi al-Thufail (diterima) dari Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah s.a.w. pada waktu perang Tabuk menjama’ antara shalat zhuhur dan ashar (jama’ taqdim) apabila berangkat setelah matahari tergelincir. Dan bila berangkat sebelum matahari tergelincir beliau mengakhirkan zhuhur di waktu ashar. Begitu pula dengan shalat maghrib, apabila matahari telah terbenam sebelum beliau berangkat maka beliau menjama’ maghrib dan Isya (dengan jama’ taqdim), dan bila beliau berangkat sebelum matahari terbenam, beliau mengakhir Maghrib di waktu Isya dan menjama’ keduanya (jama’ ta’khir).

 ُ بَ ا أ َ نَ ثَّ دَ ح وِ رْ مَ ع ْ نَ ع،ٍ دْ يَ ز ُ نْ اب َ وُ هٌ ادََّ ا حَ َ نَ ثَّ دَ : ح َ الَ ق،ِ انَ مْ عُّ و الن  ىَّ لَ صَِّ بَِّ الن َّ نَ : " أ ٍ اسَّ بَ ع ِ نْ اب ِ نَ ع،ٍ دْ يَ ز ِ نْ ب ِ رِ ابَ ج ْ نَ ع،ٍ ارَ ينِ د ِ نْ ب َ رْصَ الع َ و َ رْ هُّ ا: الظ ً يِ انََ ثََ ا و ً عْ بَ س ِ ةَ ينِ دَ مْ الِ ى ب َّ لَ ص َ مَّ لَ سَ و ِ هْ يَ لَ ع ُ الله
 َ و :َ الَ ق ،ٍ ةَ يِْ طَ م ٍ ةَ لْ يَ ل ِ فِ ُ هَّ لَ عَ : ل ُوبُّ يَ أ َ الَ قَ  ف ،" َ اءَشِ الع َ و َبِ رْ غ َ الم ىَسَ

Abu Nu’man menceritakan kepada kami, ia berkata: Hammad menceritakan kepada Kami, (diterima) dari Amr ibn Dinar, (diterima) dari Jabir ibn Zaid, (diterima) dari ibn ‘Abbas: Bahwa Nabi s.a.w. Shalat di Medinah tujuh rakaat dan delapan rakaat: Zhuhur dan Ashar, serta Maghrib dan Isya, lalu Ayyub berkata: semoga hal itu pada malam yang turun hujan lebat, Jabir ibn Zaid berkata: semoga.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muadz ibn Jabal di atas dijelaskan bahwa Nabi s.a.w. pada waktu perang Tabuk apabila berangkat setelah matahari tergelincir maka beliau shalat Zhuhur dan dan Ashar pada awal waktu Zhuhur dengan jama’ taqdim. Setelah itu baru beliau berangkat. Sedangkan bila beliau berangkat sebelum waktu zhuhur maka beliau mengakhirkan Zhuhur  ke Ashar (jama’ ta’khir). Demikian pula shalat Maghrib dan Isya. Bila beliau berhenti sebelum Maghrib, dan setelah itu masuk waktu Maghrib maka beliau melakukan shalat Maghrib dan Isya dengan jama’ taqdim. Sebaliknya bila beliau berjalan sebelum waktu maghrib maka beliau melanjutkan perjalanan sampai masuk waktu Isya dan setelah itu melakukan jama’ ta’khir.
Hadis ini menunjukkan bahwa menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar itu bisa secara jama’ taqdim dan bisa secara jama’ ta’khir. Begi pula antara shalat Maghrib dan Isya bisa dilakukan secara jama’ taqdim dan bisa secara jama’ ta’khir. Dan semua ini berlaku dalam keadaan safar (melakukan perjalanan).
Adapun hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas di atas menjelaskan bahwa Nabi s.a.w. menjama’ antara Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya tanpa adanya uzur berupa ketakutan dan safar. Kejadian ini sewaktu Nabi s.a.w. di Medinah. Dan dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas dari jalur lain dijelaskan bahwa pada waktu ditanya tentang hadis ini Ibnu Abbas menjawab: hal itu agar tidak menyulitkan umat. Hadis ini menunjukkan bahwa bolehnya menjama’ pada waktu muqim (menetap). Dan ini memang jarang terjadi dan tidak dijadikan sebagai kebiasaan.
Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa hal ini berlaku bagi orang yang sakit. Akan tetapi alasan yang mengkhususkan pada orang sakit tersebut tidak memiliki alasan yang kuat. Karena sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas bahwa hal ini merupakan bentuk kelapangan yang diberikan oleh Allah kepada umatnya.
Dari hadis-hadis yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa Rasulullah s.a.w., menjama’ shalat tidak hanya pada waktu dalam perjalanan, tetapi juga karena alasan lainnya seperti hujan lebat dan ketakutan. Bahkan pernah Nabi menjama’ shalat pada saat tidak ada alasan-alasan seperti di atas.
Oleh karena itu menjama’ shalat karena alasan kesibukan dalam mengemudi pada dasarnya dibolehkan berdasarkan hadis riwayat Ibn ‘Abbas yang menceritakan bahwa Nabi s.a.w. pernah menjama’ shalat dalam keadaan tidak melakukan perjalanan dan tidak pula dalam keadaan ketakutan. Menurut Ibn ‘Abbas, perbuatan ini dilakukan oleh Rasul s.a.w., agar shalat tersebut tidak memberatkan bagi umatnya. Tapi tentunya hadis ini tidak berlaku secara mutlak, dipastikan ada alasanalasan tertentu yang membuat Nabi s.a.w menjama’ shalatnya walaupun tidak dalam perjalanan.
Perbuatan tersebut menurut Yusuf alQaradhawi tidak boleh dijadikan kebiasaan, karena tujuannya hanya menghilangkan kesulitan bagi manusia dalam menjalankan ibadahnya. Misalnya seorang dokter yang melaksanakan operasi terhadap pasiennya yang tidak bisa ditinggalkannya, atau seorang polisi lalu lintas yang mendapat giliran tugas di jalan pada waktu menjelang Maghrib sampai setelah Isya (yang tentunya juga tidak bisa ditinggalkan.[11] Dalam keadaan seperti ini, baik dokter ataupun polisi tersebut, boleh menjama’ shalatnya untuk menghilangkan kesulitan yang mereka hadapi.
Dengan pola ta’alli (penentuan illat/sebab) terhadap hadis-hadis Nabi saw berkenaan dengan rukhsah salat dalam bentuk menjamak salat dengan berbagai keadaannya, maka kita secara penalaran dapat menghubungkan semua problematika kekinian tersebut di atas, dengan kata kunci yang sama dengan penyebab (illat) dibolehkannya menjamak shalat oleh Rasulullah saw, yaitu karena masyaqqat (kesukaran/kesulitan). Hal ini sesuai dengan kaidah al-masyaqqah tajlib at-taisir (kesulitan mendatangkan kemudahan) dan addhararu yuzal (kemudharatan harus dihilangkan).
Sebab realitas sosiologis dan budaya masyarakat muslim kekinian, untuk memenuhi hajat kehidupan yang bertaraf dharuriyat (kebutuhan esensial), menyangkut nafkah kehidupan, banyak yang bekerja sepenuh waktu, sebagai supir taksi, karyawan pabrik, penambang, pekerja bengkel, pilot dan contoh  pilot, dokter dan pasien, terjebak kemacetan lalu lintas, dan lainnya yang mengakibatkan mereka mengalami kesulitan dalam menunaikan kewajiban shalat pada waktunya.
shalat. Mengqashar shalat hanya dikhususkan bila dalam perjalanan. Oleh karena itu mengqashar shalat dalam keadaan macet dapat dilakukan untuk menghilangkan uzur atau kesulitan. Adapun mengqashar shalat dengan alasan kesibukan tidak dapat dibenarkan karena tidak ada dalil yang mendukungnya.   Menjama’ shalat lebih umum dari mengqashar shalat. Menjama’ shalat boleh dilakukan karena alasan perjalanan, ketakutan, hujan lebat dan lain-lain. Sehingga menjama’ shalat ketikan ada kesibukan dalam mengemudi dapat dilakukan bila uzur tersebut tidak dapat lagi dihindarkan, dengan syarat bahwa hal tersebut tidak dijadikan kebiasaan. Sebab meninggalkan solat sangat dilarang oleh aturan agama, dan bagi yang meninggalkan solat akan di kenakan balsan yang sangat keras.
Ulama mazhab Hanafi mensyaratkan perjalanan tersebut melampaui batas desanya sendiri dan desa-desa sekitarnya, sehingga ia telah keluar dari daerah huniannya. Ulama mazhab Maliki membedakan antara perjalanan yang dilakukan oleh penduduk kota, masyarakat pedalaman, dan masyarakat pegunungan. Bagi masyarakat kota, baru dikatakan musafir apabila telah melampaui batas kota. Untuk masyarakat pedalaman, seseorang baru dikatakan musafir apabila perkampungan masyarakat pedalaman telah dilewatinya. Adapun bagi masyarakat pegunungan, seseorang baru dikatakan musafir apabila telah meninggalkan pemukiman mereka.
Menurut ulama mazhab Syafi`i, apabila daerah tempat tinggal yang akan musafir ini dipagar, maka ia dikatakan musafir apabila telah keluar dari pagar tersebut. Apabila derah tersebut tidak dipagar, maka dapat dikatakan musafir apabila telah melampaui bangunan paling akhir dari batas daerah tersebut. Menurut ulama mazhab Hanbali, dapat dikatakan musafir apabila perkampungannya atau rumah terakhir di pinggiran daerah tersebut telah dilaluinya, baik masih dalam pagar/batas desa maupun telah melampauinya. Ulama mazhab Hanbali berpendapat bahwa batas-batas daerah tersebut diserahkan sepenuhnya kepada kebiasaan setempat. Jadi jika kita memiliki uzur misalkan menempuh perjalanan yang sangat jauh maka di perkenankan menjama’ solat.

G.           Kesimpulan
Bahwasanya mayoritas ulama’ syafi’iyah memperbolehkan shalat jama’ karena hajat,  seperti Imam Ibnu Mndzir, Imam Ibnu Sirrin, Imam Nawawi. Asalkan shalat karena hajatnya tidak di jadikan suatu kebiasaan. Dan para ulama’ syafi’iyah berpendapat tersebut karena berdasarkan hadits yang di riwatkan ibnu mundzir “bahwa nabi tak ingin menyulitkan umatnya”.
Rasulullah s.a.w., menjama’ shalat tidak hanya pada waktu dalam perjalanan, tetapi juga karena alasan lainnya seperti hujan lebat dan ketakutan, dalam perjalanan jauh, dalam keadaan sakit,  dan orang yang menyusui anak karena sulit membersihkan diri dari najis anak setiap waktu shalat.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Mutakin, “Menjama’ Sholat Tanpa Halangan: Analisis Kualitas dan Kuantitas Sanad Hadis” Vol. XVI No. 1 (April 2017).
Beni Firdaus, “kemacetan dan kesibukan menjadi alesan Qhasar dan Jama’ sholat” Vol. 02, No. 02., Juli-Desember 2017 (Desember 2017): 115–230.
Multazim A.A, “Implementasi sholat Jama’ Lil Hajah dalam Pesta Perkawinan (Perspektif Mazhab Syafi’i)” Vol. XVI  No. 1 (April 2018).
Ahmad Faishol, “Penerapan Raf’u al-Haraj: Studi Analisis Shalat Jama’ Fi al-Hadar al-Hajah” Volume 5, Nomor 1 (Juni 2017).
Arisman, “JAMAK DAN QADHA SHALAT BAGI PENGANTIN  KAJIAN FIQH KONTEMPORER” Vol. XIV  No. 1 (Juni 2014).
H. Mahmudin, Lc,. M.H, “Rukhsah (Keringanan) Bagi Orang Sakit Dalam Perspektif Hukum Islam” Vol. 11, No. 23 (Juni 2017).
Nur Lailatul Musafa’ah, “Rekonstruksi Pendarahan Pervaginam Dengan Pendekatan Medis” Volume 8, Nomor 1 (September 2013).
Ahmad Jalil, “Konsep Rukhsas Dan Implementasinya Dalam Hukum Pernikahan” Vol. 1, No. (Desember 2018).
Ahmad Fanani, “Shalat Jama’ Bagi Dokter Bedah Dalam Operasi Dipandang Dari Perspektif Kaidah al-Masyaqqat Tajlibu Taysiir” Vol 12. No. 1 (2018).
Nenan Julir, “Qadha Shalat BagiI Orang Pingsan (Studi Kompratif Pendapat Ulama)” Volume 14 Nomor 1 (2014).








[1] Ali Mutakin, “Menjama’ Sholat Tanpa Halangan: Analisis Kualitas dan Kuantitas Sanad Hadis” Vol. XVI No. 1 (April 2017).
[2] Beni Firdaus, “kemacetan dan kesibukan menjadi alesan Qhasar dan Jama’ sholat” Vol. 02, No. 02., Juli-Desember 2017 (Desember 2017): 115–230.
[3] Beni Firdaus, 171.
[4] Multazim A.A, “Implementasi sholat Jama’ Lil Hajah dalam Pesta Perkawinan (Perspektif Mazhab Syafi’i)” Vol. XVI  No. 1 (April 2018).
[5] Ahmad Faishol, “Penerapan Raf’u al-Haraj: Studi Analisis Shalat Jama’ Fi al-Hadar al-Hajah” Volume 5, Nomor 1 (Juni 2017).
[6] Arisman, “JAMAK DAN QADHA SHALAT BAGI PENGANTIN  KAJIAN FIQH KONTEMPORER” Vol. XIV  No. 1 (Juni 2014).
[7] H. Mahmudin, Lc,. M.H, “Rukhsah (Keringanan) Bagi Orang Sakit Dalam Perspektif Hukum Islam” Vol. 11, No. 23 (Juni 2017).
[8] Nur Lailatul Musafa’ah, “Rekonstruksi Pendarahan Pervaginam Dengan Pendekatan Medis” Volume 8, Nomor 1 (September 2013).
[9] Ahmad Jalil, “Konsep Rukhsas Dan Implementasinya Dalam Hukum Pernikahan” Vol. 1, No. (Desember 2018).
[10] Nenan Julir, “Qadha Shalat BagiI Orang Pingsan (Studi Kompratif Pendapat Ulama)” Volume 14 Nomor 1 (2014).
[11] Ahmad Fanani, “Shalat Jama’ Bagi Dokter Bedah Dalam Operasi Dipandang Dari Perspektif Kaidah al-Masyaqqat Tajlibu Taysiir” Vol 12. No. 1 (2018).

Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH DASAR-DASAR QUR’ANI DAN SEJARAH TIMBULNYA ILMU KALAM

MAKALAH PENGETIAN MAHABBAH DAN TOKOH YANG MENGEMBNGKAN MAHABBAH

Jurnal Akidah Akhlak Adab Bergaul Dengan: Remaja, Teman Sebaya, Orang Yang Lebih Tua, Orang Yang Lebih Muda, Dan Lawan Jenis

Jurnal Akidah Akhlak Tentang Akhlak Murid Terhadap Guru Menurut Kitab Ta'lim Muta'llim

JURNAL ADAB DALAM PERJALANAN/SAFAR DAN DALILNYA

Jurnal Hukum Adab Bertetangga Dan Implementasinya

Jurnal Adab Dalam Berpakaian Dalil Dan Hikmah Berpakain Sopan