JURNAL HUKUM OPERASI CAESAR MENURUT PARA ULAMA KLASIK

Hukum Operasi Caesar (Sectio Caesarea)
Sila Maryanah
Institut Agama Islam Negeri Metro
Jl. Ki Hajar Dewantara 15a Iringmulyo, Kota Metro Lampung, Indonesia, 34112

A.    Pendahuluan
Sebagian ibu yang telah mempunyai anak, pasti juga merasakan bagaimana proses persalinan, baik yang  normal ataupun tidak normal yang disebut operasi Caesar. Berbagai kendala dan upaya yang dilakukan seorang ibu agar si jabang bayi terlahir sehat dan normal seperti bayi lainnya, termasuk mencukupi kebutuhan lahiriyah dan bathiniyah selama mengandung. Ibu yang melalui persalinan normal tetap cemas terhadap dirinya sendiri dan bayi yang ada diperutnya, nyawa keduanya menjadi taruhan serta teka-teki yang sebentar lagi tertebak oleh orang-orang yang menunggunya lahir kedunia ini. Lalu bagaimana ibu yang mengalami kendala atau kondisi tubuh yang tidak mendukung untuk melakukan persalinan normal? tentu jalan lain yang ditempuh, yaitu sectio caesarea. Bahkan, tidak sedikit ibu yang memlih operasi Caesar untuk menghindari rasa sakit alamiah yang ditimbulkan saat persalinan normal.
Di zaman modern ini, teknologi dan ilmu pengetahuan telah melejit mengarungi ranah permasalahan hidup umat manusia yang diciptakan untuk mencari solusi dan penyelesaian suatu masalah yang dialami, termasuk masalah persalinan ini. Berbagai alat dikembangkan untuk mengetahui kondisi janin didalam perut ibunya tanpa susah payah menerka, yang sekarang ini disebut sebagai Ultrasonography (USG).
Diantara kedua jalan proses persalinan tersebut bukan berarti salah satunya terbebas dari resiko yang besar maupun minim dari resiko, karena tidak sedikit para ibu yang meninggal dunia saat melahirkan persalinan normal akibat kehabisan darah atau pendarahan bahkan sebelum pembukaan terakhir sudah tidak kuat untuk melanjutkan perjuangan, begitupun persalinan operasi pembedahan Caesar, sang ibu harus mengalami masa pemulihan akibat pembelahan pada perut dan rahimnya sehingga dapat terjadi kemungkinan yang fatal jika menyalahi aturan dokter selama proses pemulihan pasca operasi.
Menurut penulis, Caesar merupakan keputusan penting yang harus ditindak dengan cepat dan tepat meski beresiko malpraktek saat operasi berlangsung. Sebab, dari keadaan dan kondisi jasmani masing-masing ibu berbeda satu sama lainnya begitu pun pada bayi didalam kandungan yang kondisinya pun berbeda-beda mulai dari bobot, tinggi, hingga posisi bayi dalam perut. Jadi, perlu sekali adanya jalan lain selain persalinan normal yang bisa ditempuh oleh ibu dan bayi yang bermasalah untuk dilahirkan normal. Tentu membutuhkan kesiapan yang matang, mulai dari persetujuan sang ibu dan yang bersangkutan, biaya atau akomodasi yang meningkat dibanding persalinan normal dan lain sebagainya.
Sedangkan operasi Caesar yang menjadi jalan lain dari persalinan normal menjadi pilihan yang paling banyak diminati para ibu diseluruh dunia, yaitu saat 2007 yang melakukan operasi Caesar sebanyak 15%, dari total kelahiran yang ada potensi operasi Caesar yaitu 21,1% pada Negara yang berkembang, sedangkan Negara maju hanya 2%. Versi World Health Organization (WHO) mengemukakan bahwa rata-rata operasi pembedahan (caesar) dalam suatu Negara yaitu sekitar 5-15% per 1000 kelahiran didunia, di RS milik Negara yaitu 11%, sedangkan di RS swasta bisa mencapai lebih dari 30%. Di Inggris pelaku operasi Caesar sekitar 29,1% per 1000 kelahiran pada tahun 2004. Di Kanada terjadi 22,5% per 1000 kelahiran.[1]

B.     Contoh Kasus
Kasus operasi Caesar (sectio caesarea) di Indonesia dipengaruhi oleh tingkat ekonomi suatu daerah, karena semakin besar kesempatan mendapatkan kesejahteraan termasuk menerima pelayanan kesehatan dari lembaga kesehatan masyarakat seperti BPJS, Kartu Indonesia Sehat, Jasa Asuransi dan lain sebagainya. Jika tingkat ekonomi yang berkecukupan, maka semakin besar kemungkinan seorang ibu melakukan operasi Caesar, hal yang lumrah jika biayanya menjadi berkali lilipat lebih besar dari biaya persalinan normal. Maka dari itu ekonomi juga berpengaruh pada keputusan seseorang untuk mengambil tindakan section caesarea tidak mempertimbanngkan berapa dan bagaimana membayar biaya operasi.
Dari sebuah penelitian terhadap wanita yang telah melahirkan pada 5 tahun terakhir ini adalah kisaran diusia 10-54 tahun. Lalu dikumpulkan data untuk mengetahui berapa banyak jumlah wanita hamil yang melahirkan dengan normal dan yang melahirkan dengan operasi Caesar. 20.591 orang telah diwawancarai dan dikelompokkan menjadi dua golongan, yajni wanita yang melahirkan anak bungsunya dengan operasi Caesar sebanyak 15,3% yaitu 3.154 orang, dan wanita-wanita tersebut merupakan status sosialnya yang tinggai, berpendidikan tinggi, sebagai tulang punggung keluarganya dan lebih banyak yang berasal dari kota yang hanya 11% yang berasal dari desa.
Kemudian, dinegara China tingkat kelahiran Caesar juga lebih didominasi oleh wanita karir yang ekonominya sangat tercukupi, mempunyai pekerjaan tetap, lalu memiliki tingkat pendidikan yang tinggi karena mereka mengharapkan cukup unruk memiliki satu anak saja sebagai keturunan mereka. Berbagai latar belakang yang disandang masing-masing wanita hamil yang melakukan tindakan operasi Caesar ternyata tingkat kemampuan sosial yang lebih tinggi yang memungkinkan seseorang memililh melahirkan dengan operasi Caesar, sebab tidak ada kendala yang biasa dirasakan wanita kaum bawah atau bahkan ada keuntungan tersendiri dari melakukan tindakan operasi Caesar ini, tentu saja kekayaan yang dibawah rata-rata disuatu daerah juga termasuk salah satu faktor wanita hamil menolak untuk dioperasi bahkan lebih rela merasakan sakit saat melahirkan ketimbang menanggung akomodasi pra dan pasca persalinan yang relatif lebih mahal dibanding persalinan normal.
Ketika pada era reformasi yaitu tahun 1991-1997 mengalami masa krisis moneter, yang besaran nya hanya 5% kenaikan pertahun nya yang terdeteksi melakukan operasi Caesar, sedangakan setelah masa-masa krisis yaitu pada tahun 1998-2002 kenaikan pada kelompok penduduk kaya kisaran 10% pertahunnya, ada lebih dari 50,000 Bidan yang disebar diberbagai daerah untuk menanggulangi peningkatan peminat melahirkan dengan operasi Caesar. Karena semakin banyak peminat maka penambahan tenaga medis pun ditingkatkan dengan profesionalitas.[2]

Penggunaan Antibiotika Profilaksis Pada Pasien
Perempuan dalam penelitian ini menyatakan berbagai macam persepsi mereka tentang PEB dan SC. Perbedaan Persepsi partisipan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, kebutuhan dan pengalaman masing-masing setelah menjalani SC atas indikasi PEB. Menurut Sunaryo (2004) Persepsi adalah proses kognitif yang dipergunakan oleh individu untuk menafsir dan memahami dunia sekitarnya (terhadap obyek), tanda-tanda dari sudut pengalaman yang bersangkutan. Persepsi tidak hanya bergantung pada rangsangan fisik tetapi juga pada rangsangan yang berhubungan pada lingkungan sekitar dan keadaan individu yang berhubungan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu faktor fungsional yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal lain yang termasuk dalam faktor personal.  Dalam hasil penelitian hampir semua partisipan mengungkapkan persepsi mereka tentang PEB yaitu adanya peningkatan tekanan darah tinggi pada waktu hamil, dengan tanda dan gejala seperti tekanan darah tinggi pada usia kehamilan 5 bulan, pandangan kabur, kaki bengkak, sakit di daerah kepala dan ulu hati, mual bahkan sampai muntah. Hal serupa dijelaskan oleh Prawirohardjo (2001), pre eklampsia merupakan suatu kondisi spesifik kehamilan dimana hipertensi terjadi setelah minggu ke-20 pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah rendah. Biasanya tanda-tanda preeklampsia timbul secara berurutan yaitu pertumbuhan berat badan yang berlebihan, diikuti oedema, hipertensi dan akhirnya proteinuria. Pada gejala PEB didapatkan sakit kepala didaerah frontal, penglihatan kabur, diplopia, nyeri di daerah epigastrium, mual dan muntah. Gejalagejala ini sering ditemukan pada pre eklampsia yang meningkat lebih tinggi, oedema menjadi lebih umum dan proteinuria bertambah banyak.
Pada penelitian ini menghasilkan pernyataan bahwa perempuan yang mengalami PEB tidak tahu secara pasti apa yang menyebabkan mereka mengalami PEB, meskipun ada salah satu partisipan yang menyatakan PEB terjadi karena adanya riwayat hipertensi. Pernyataan ini ini sesuai dengan penelitian Sudhaberata (2001) tentang penanganan PEB dan Eklampsia, dijelaskan bahwa etiologi PEB dan eklampsia belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa teori yang menjelaskan perkiraan etiologi dari kelainan tersebut sehingga sering dikenal sebagai the diseases theory. Bobak, Lawdermilk & Jensen (2004) menyatakan kira-kira 85 % preeklampsia terjadi pada kehamilan pertama, 14 % sampai 20 % kehamilan dengan janin lebih dari satu, 30 % pada pasien yang mengalami anomaly berat dan pada ibu yang mengalami hipertensi kronis atau penyakit ginjal insidensi mencapai 25%.
Hasil penelitian ini juga menjelaskan persepsi partisipan tentang SC yaitu operasi untuk mengeluarkan bayi melalui pembedahan di bagian perut karena adanya kelainan, seperti bayi besar, tekanan darah tinggi, kehamilan kembar, persalinan macet dan resiko terjadi ruptur uteri karena riwayat SC berulang. Hal serupa juga dinyatakan oleh Mansjoer (1999) Operasi Caesar atau Sectio Caesarea adalah proses persalinan yang dilakukan dengan cara mengiris perut hingga rahim seorang ibu untuk mengeluarkan bayi. Pada umumnya, seksio sesarea digunakan bilamana terjadi penundaan persalinan yang lebih lama dan akan menimbulkan bahaya yang serius bagi janin, ibu atau keduanya, padahal persalinan pervaginam tidak mungkin diselesaikan dengan aman. Indikasi ibu untuk melakukan seksio sesarea antara lain panggul sempit absolut, tumor – tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi, stenosis serviks / vagina, plasenta previa, disproporsio sefalopelvik dan ruptura uteri membakat. Indikasi janin seperti kelainan letak, gawat janin serta bayi besar.
Setiap partisipan dalam penelitian ini mengalami berbagai macam perubahan fisik setelah mengalami SC dengan indikasi PEB, seperti nyeri pada bekas luka operasi, sakit untuk flatus, kesulitan mobilisasi, terpasang infus dikedua tangan, pembengkakan kaki, dada terasa sesak, pandangan masih kabur, mual dan muntah. Perubahan tersebut juga telah dijelaskan oleh Prawirohardjo (2001) yaitu :
(1) Kehilangan darah dan air yang menyebabkan berkurangnya volume cairan dalam sirkulasi karena hemokonsentrasi dan vasokontriksi,
(2) Diuresis pasca operasi berkurang
(3) Mual kadang sampai muntah akibat anestesi,
(4) Peristaltik usus berkurang dan lambat akan pulih pada post op hari ke-2, usus bergerak lagi dengan gejala mules dan kembung,
(5) Nyeri pada luka bekas insisi di daerah abdomen.
Kehamilan dan persalinan bukan merupakan penyakit psikiatri. Namun timbulnya stress psikologis dan fisik yang terkait dengan kehamilan dan persalinan dapat mengakibatkan krisis emosional yang dapat berdampak pada kesehatan ibu dan bayi serta mempengaruhi integrasi keluarga dan menghambat ikatan emosional antara ibu dan bayi (Bobak, Lawdermilk & Jensen, 2005). Pada penelitian ini memberikan hasil adanya perubahan psikologis pada perempuan yang mengalami SC atas indikasi PEB. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Mustiah, Supriyadi & Setiya (2006) yang menunjukkan bahwa seluruh ibu hamil mengalami kecemasan berat dengan penyebab cemas karena kurangnya informasi tentang operasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Gillies dalam Mustiah, Supriyadi & Setiya (2006) yang menyatakan bahwa pengiriman informasi bertujuan untuk menimbulkan perubahan tingkah laku yang diinginkan.[3]
Wanita yang melakukan bedah sesar memiliki resiko infeksi lebih besar 5-20 kali lipat dibandingkan persalinan normal (Purnamaningrum, 2013). Infeksi bedah sesar yang umumnya terjadi, yaitu demam, endometritis, infeksi luka, dan infeksi saluran kemih (Smaill&Hofmeyr, 2007). Tanda infeksi pasca bedah dapat berupa purulent (nanah), peningkatan drainase (adanya cairan luka), nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih (Aryshire&Arran, 2012). Resiko infeksi dari tindakan bedah sesar tersebut dapat diturunkan dengan adanya pemberian antibiotik profilaksis. Pemberian antibiotik ini dapat menurunkan resiko endometritis sebesar 60-70% dan menurunkan resiko luka infeksi sebesar 30-65% (Prasetya, 2013).
Antibiotik profilaksis adalah antibiotik yang diberikan untuk mecegah terjadinya infeksi pada pasien yang belum terkena infeksi. Tujuan dari pemberian antibiotik profilaksis adalah untuk mengurangi insidensi infeksi luka pasca bedah.
Menurut Goodman dan Gilman (2012), beberapa faktor penting dalam penggunaan antibiotik yang efektif dan bijaksana untuk profilaksis pembedahan, yaitu:
1. Harus ada aktivitas antimikroba pada lokasi luka saat penutupan, dengan demikian, obat sebaiknya diberikan tidak lama sebelum operasi untuk prosedur yang diperpanjang.
2. Antibiotik harus aktif terhadap mikroorganisme yang memiliki kemungkinan terbesar untuk mengontaminasi. Oleh karena itu, sefalosporin adalah antibiotik pada bentuk kemoprofilaksis ini.
3. Terdapat banyak bukti bahwa penggunaan obat-obat yang berlanjut setelah prosedur pembedahan tidak dibenarkan berpotensi membahayakan.
Antibiotik secara praktis umumnya diberikan pada saat induksi anestesi tetapi untuk menghindari masuknya antibiotik pada janin antibiotik dapat diberikan setelah penjepitan tali pusar dan mungkin perlu diberikan kembali untuk memelihara konsentrasi efektif obat dalam serum selama prosedur yang diperpanjang. Prosedur bedah sesar memiliki sifat operasi bersih terkontaminasi (tindakan bedah akan membuka saluran pernapasan dan saluran kemih), antibiotik yang disarankan adalah sefazolin yakni golongan sefalosporin generasi pertama dengan dosis 1 gram secara intravena (Goodman dan Gilman, 2012).
Di Rumah Sakit Ibu Dan Anak “X” Tangerang sendiri pasien bedah sesar pada tahun 2013 adalah 267 pasien, kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2014 yakni 364 pasien dengan 256 pasien operasi bedah sesar secara terencana yakni pasien yang sebelumnya sudah memutuskan bedah sesar dengan dokter spesialis kandungan di RSIA “X”, 108 pasien operasi bedah sesar secara cito yakni pasien yang sudah melakukan observasi persalinan secara normal namun mengalami kesulitan sehingga diindikasikan untuk menjalani bedah sesar.[4]

C.    Operasi Caesar Menurut Medis
Istilah sectio caesarea berasal dari bahasa latin caedere yang berarti memotong atau menyayat. Dalam ilmu obstetrik, istilah tersebut mengacu pada tindakan pembedahan yang bertujuan melahirkan bayi dengan membuka dinding perut dan rahim ibu (Todman, 2007; Lia et.al, 2010). Persalinan dengan operasi sectio caesarea ditujukan untuk indikasi medis tertentu, yang terbagi atas indikasi untuk ibu dan indikasi untuk bayi. Persalinan sectio caesaria atau bedah caesar harus dipahami sebagai alternatif persalinan ketika dilakukan persalinan secara normal tidak bisa lagi (Patricia, 2005; Irwan, 2009; Lang, 2011). Meskipun 90% persalinan termasuk kategori normal atau tanpa komplikasi persalinan,  namun apabila terjadi komplikasi maka penanganan selalu berpegang teguh pada prioritas keselamatan ibu dan bayi. Operasi sectio caesarea ini merupakan pilihan persalinan yang terakhir setelah dipertimbangkan cara-cara persalinan pervaginam tidak layak untuk dikerjakan (Akhmad, 2008; Asamoah et.al., 2011).
Di Indonesia sudah ada perundang-undangan yang mengatur batasan mana  yang harus dilakukan operasi Caesar ini, syarat dan ketentuan yang bagaimana sudah diatur meskipun tidak sespesifik itu hanya sebagai acuan atau landasan hukum untuk melakukan praktik operasi Caesar ini. Lalu dilihat dari umumnya jumlah peralinan Caesar di rumah sakit pemerintah hanya sekitar 20-25% dari total persalinan, sedangkan dirumah sakit swasta jumlahnya sangat tinggi yaitu 30-80%.
Operasi Caesar ini harus dipahami sebagai jalan alternatif persalinan ketika persalinan yang normal tidak bisa dilakukan, semua diprioritaskan atas nama keselamatan bayi dan ibu karena tim medis mempunyai pertimbangan untuk menangani pasiennya dan memberikan pelayanan yang terbaik. Penyebab persalinan dengan cara caesar ini bisa dari sang ibu juga bayi yang didalam kandungannya, karena terdapat dua jenis keputusan Caesar ini diambil. Pertama, yaitu operasi Caesar yang sudah diperkirakan atau diagnosa sebelumnya karena hal tertentu contohnya posisi bayi yang sungsang, plasenta menutup mullut bayi, bayi yang kembar, ibu berusia lanjut, ada penyakit yang menghambat, sudah pernah Caesar sebelumnya dan masih banyak lagi. Kedua, yaitu operasi yang diputuskan secara tiba-tiba karena kondisi yang darurat misalnya persalinan yang cukup panjang karena bayi belum juga lahir selama 24jam sejak ketuban pecah, kotraksinya terlalu lemah dan sebagainya.
Dalam realisasinya pun masih banyak pernikahan, kehamilan, dan persalinan yang terhitung muda usia nya sehingga belum siap untuk bereproduksi secara sehat, lain halnya dengan wanita yang hamil diatas usia 30 tahun pada usia ini ternyata mempunyai resiko pada kesehatan ibu dan bayinya karena potensi nya lebiih tinggi mempunyai anak syndrome down, juga berisiko terlahir dengan anak dengan kromosom abnormal.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa ibu yang jarang memeriksakan kehamilannya tidak bisa untuk mendiagnosa secara dini adanya kelainan atau komplikasi baik saat kehamilan atau persalinan semakin meningkat. Masih rendahnya kesadaran ibu-ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya, menyebabkan faktor-faktor penyebab komplikasi kehamilan yang sesungguhnya dapat dicegah, diperbaiki, serta di-obati tidak segera dapat ditangani. Komplikasi kehamilan nantinya menyebabkan penyulit persalinan jika tidak segera ditangani, salah satu risiko persalinan dengan sectio caesarea. Anemia adalah masalah kesehatan dengan prevalensi tertinggi pada wanita hamil. Prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia adalah 70 %. Pada trimester pertama kehamilan, zat besiyang dibutuhkan sedikit karena tidak terjadi menstruasi dan pertumbuhan janin masih lambat. Menginjak trimester kedua hingga ketiga, volume darah dalam tubuh wanita akan meningkat sampai 35 %, ini ekuivalen dengan 450 mg zat besi untuk memproduksi sel-sel darah merah. Sedangkan saat melahirkan, wanita hamil butuh zat besi sekitar 40 mg per hari atau dua kali lipat kebutuhan kondisi tidak hamil.[5]
Lalu selain itu, faktor yang membuat operasi Caesar ini terjadi karena status ekonomi, daerah tempat tinggal, tingkat pendidikan, pekerjaan tetap, dan mempunyai jaminan jasa kesehatan. Lalu faktor lain dari multivariate yaitu usia kelahiran, jumlah bayi yang dikandung, usia ibu hamil, tinggi berat badan ibu, riwayat penyakit dalam, komplikasi, dan riwayat kelahiran. Usia bayi yang dilahirkan lebih dari 42 minggu 1,97 kali cenderung  melahirkan dengan operasi Caesar, usia ibu yang hamil diatas 35tahun 1,68 kali berpotensi terjadinya kelahiran Caesar, jika ibu yang tingginya 145cm atau kurang 1,93 kali diperkirakan dilakukan Caesar,  ibu yang memiliki penyakit sulit persalinan 1,21 kali lebih cenderung terjadi nya persalinan Caesar dibanding ibu yang komplikasi.
Pengaruh sekali status ekonomi atas, juga tingkat pendidikan yang lebih tinggi,  wilayah tempat tinggal perkotaan, status pekerja yang notabenenya sebagai pegawai swasta dan dengan kepemilikan jaminan kesehatan tentu  menjadi sebab pendorong kejadian persalinan operasi caesar di Indonesia. Sedangkan terkait dengan jumlah status kesehatan ibu dan janin, diusia kelahiran bayi yang lebih dari 42 minggu, kehamilan dengan bayi kembar, juga umur ibu yang saat melahirkan lebih di usia 35 tahun, tinggi ibu yang kurang dari 145cm berpeluang lebih besar untuk terjadinya persalinan operasi sesar di Indonesia. Ibu yang melahirkan bayi dengan penyakit sulit persalinan, dengan komplikasi kehamilan dan komplikasi persalinan, berpeluang lebih besar untuk terjadinya persalinan operasi sesar.  Sedangkan pada riwayat kelahiran hidup,  ibu yang memiliki hidup 1 kelahiran, ibu dengan riwayat ANC lengkap memiliki peluang lebih besar untuk terjadinya persalinan operasi sesar.[6]

Berikut adalah faktor-faktor penyebab dilakukannya opersi Caesar :
1.    Gawat Janin
Pada tahun 2013 Liun Kendage Tahuna menerangkan hasil penelitian yang di peroleh di RSUD. Yaitu suatu indikasi yang sangat berpengaruh dalam meningkatnya angka terjadinya operasi caesar yaitu gawat janin sebanyak 52 responden (31,14%). Kenapa gawat janin berpengaruh? Karena gawat janin itu merupakan salah satu dari sekian indikasi yang banyak di alami pada ibu dengan persalinan sectio caesarea, seorang ibu yang mengalami gawat  janin tidak dapat melakukan persalinan normal karena tentu akan membahayakan keselamatan ibu dan bayinya. Hal tersebut juga sesuai dengan teorinya Nugroho (2010) yang menyatakan, jika serviks tidak terbuka penuh dan kebetulan kepala janin berada tepat lebih dari 1/5 di atas simfisis pubis atau bisa digambarkan ada dibagian teratas tulang kepala janin yang berada di atas stasion 0, maka kelahiran akan dilakukan dengan sectio caesarea. Gawat janin ialah suatu kondisi dimana si janin sedang tidak menerima Oksigen yang cukup, sehingga mengalami resiko yg serius dapat mengancam kesehatan janin (Wiknjosastro, 2007).

2.    Partus Tidak Maju
Masih berdasarkan hasil dari medical record RSUD Liun Kendage Tahuna pada tahun 2013 yaitu sebanyak 46 responden (27,55%) yakni persalinan yang berkepanjangan yang menjadi salah satu indikasi agar dilakukannya operasi Caesar. Lalu sebelumnya sudah ditindak lanjuti oleh bidan yang bertugas di ruangan Obstetri RSUD Liun Kendage Tahuna,upaya yang dilakukan salah satunya yaitu drips pitogin, namun sayang tindak lanjut itu tidak berhasil bahkan pasien telah mengalami ketuban pecah dini dan partus tidak maju maka dilakukanlah operasi Caesar. Partus yang tidak maju pun disebabkan oleh banyak faktor, yaitu antara lain adanya kelainan letak janin, janin besar, kelainan his, kelainan panggul sempit, pimpinan partus yang salah, kelainan kongenital , atau ketuban pecah dini dan justru paling banyak di sebabkan oleh his yang tidak adekuat dan kelainan letak janin (Mochtar, 1998). Menurut Kasdu (2005) ketika persalinan tiba, tetapi kontraksi yang terjadi tidak sesuai dengan harapan maka perlu di lakukan tindakan induksi, jika kontraksi masih tetap berlangsung kurang baik maka persalinan di bantu dengan alat forcep (vakum) namun jika cara tersebut tidak berhasil maka akan segera di lakukan tindakan sectio caesarea.

3.    Preeklampsia
Berdasarkan data yang peneliti peroleh dari medical record RSUD Liun Kendage Tahuna tahun 2013, setelah gawat janin, dan partus tidak maju, pre eklampsia adalah indikasi terbesar ke tiga dari 167 responden sebanyak 41 responden (24,55%) mengalami pre eklampsia. Dari hasil penelitian juga menunjukkan ibu yang mengalami pre eklampsia memiliki latar belakang pendidikan  SD dan SMP sebanyak 12 orang (29,26%). Hal ini bisa terjadi karena tingkat pendidikan yang rendah dapat meyebabkan kurangnya pengetahuan tentang pre eklampsia, kurangnya pemeriksaan selama kehamilan berlangsung sebagai deteksi dini, yang dapat menyebabkan terjadi pre eklampsia pada saat persalinan sehingga ibu harus di lakukan tindakan sectio caesarea. Menurut Indiarti (2007) Ibu yang mengalami preeklamsi berat (keracunan kehamilan, hipertensi kehamilan) atau eklampsia (preeklampsia yang disertai kejang) harus di lakukan tindakan sectio caesarea. Tindakan sectio caesarea untuk perbaikan keadaan ibu dan mencegah kematian janin dalam uterus.
Preeklampsia berakibat fatal jika tidak segera mendapatkan tindakan, merusak plasenta sehingga menyebabkan bayi lahir dalam keadaan tidak bernyawa, atau lahir prematur, penyakit ini juga membahayakan ginjal ibu hamil. Pada beberapa kasus, bisa menyebabkan ibu hamil mengalami koma. Untuk mencegah hal tersebut jalan terbaik adalah dilakukannya tindakan sectio caesarea.

4.    Panggul Sempit
Hasil  dari medical record ditemukan dari 167 ibu yang dilakukan sectio caesarea dengan indikasi panggul sempit sebanyak 28 ibu (16,76%). Hal ini disebabkan oleh karena bentuk tubuh atau postur tubuh dan bentuk panggul ibu yang kecil sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan persalinan normal. Sectio caesarea di lakukan untuk mencegah hal – hal yang membahayakan nyawa ibu. Panggul sempit apabila ukurannya 1-2 cm kurang dari ukuran yang normal.  Hal-hal yang dapat terjadi apabila tidak dilakukan sectio caesarea  yaitu, rupture uteri, terjadi fistula karena anak terlalu lama menekan pada jaringan lahir, terjadi edema dan bahaya pada janin yaitu pada panggul sempit sering terjadi ketuban pecah dini dan kemudian infeksi intrapartum, terjadi prolaps funikuli dan dapat merusak otak yang mengakibatkan kematian pada janin (Prawirohardjo, 2009). Hal tersebut di dukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Mulyawati (2011) di RSI YAKKSI Gemolong Kabupaten Sragen terdapat peningkatan jumlah pasien yang melakukan persalinan dengan Sectio Caesarea dengan indikasi panggul sempit memiliki persentase sebesar 36,7%. Maka asumsi peneliti bahwa angka kejadian sectio caesarea meningkat karena berbagai faktor seperti diuraikan diatas, jika tidak dilakukan tindakan sectio caesarea maka akan mengancam nyawa ibu dan janin dengan demikian dapat menurunkan angka kematian ibu dan anak.[7]

Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Pre-Operasi Dengan Derajat Nyeri
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang pada bulan Maret Tahun 2014, responden pre operasi yang mengalami kecemasan kategori sedang dan berat dengan keluhan nyeri post operasi dalam kategori sedang dan berat berjumlah 23 responden (50%) dari total 46 responden yang diteliti. Sedangkan responden yang mengalami kecemasan kategori ringan dengan keluhan nyeri dalam kategori ringan berjumlah 10 responden (21,7%) dari total 46 responden. Hal ini menunjukan bahwa pasien dengan gangguan kecemasan dalam kategori sedang ataupun berat akan mempunyai kemungkinan besar mengalami komplikasi nyeri dengan skala kategori sedang dan berat juga, sedangkan pasien dengan gangguan kecemasan dalam kategori ringan akan mempunyai kemungkinan besar mengalami komplikasi nyeri dengan skala ketegori ringan.
Faktor- faktor yang mempengaruhi nyeri salah satunya adalah kecemasan. Nyeri dan kecemasan bersifat kompleks, sehingga keberadaanya tidak terpisahkan. Kecemasan meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan cemas. Apabila rasa cemas tidak mendapatkan perhatian, maka rasa cemas tersebut akan menimbulkan suatu masalah serius dalam penatalaksanaan nyeri.3 Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sumanto, dkk dengan tema hubungan tingkat nyeri dengan tingkat kecemasan pada pasien post operasi sectio caesarea di RSU PKU Muhammadiyah Gombong menyatakan ada hubungan antara tingkat nyeri dengan tingkat kecemasan pada pasien post operasi sectio caesarea. Hasil penelitian menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat nyeri yang dialami oleh pasien maka semakin tinggi tingkat kecemasan pasien.
Berdasarkan pada teori yang ada peneliti menghubungkan keterkaitan antara veriabel kecemasan dengan nyeri melalui respon fisiologis tubuh yaitu Pasien dengan gangguan kecemasan menunjukkan perbedaan dalam konsentrasi keseimbangan hormon dalam tubuh. Ketika mengalami kecemasan beberapa  hormon yang akan mengalami perubahan dibandingkan dengan subyek normal adalah, katekolamin dan MHPG, kortisol dan ACTH, hormon pertumbuhan, prolaktin, hormon tiroid, dan B-endorphin. Kelainan endokrin pada orang cemas termasuk epinefrin, norepinefrin, dopamin, dan katekolamin metabolit, terutama metoksi hydroxy phenethylene glycol (MHPG). Perubahan hormon inilah yang akan berpengaruh terhadap fungsi hipotalamus sehingga mengaktifkan kerja neurotransmitter terhadap komplikasi yang dialami responden post operasi, dikarenakan efek fisiologis yang menyebabkan keseimbangan tubuh terganggu sehingga dampak stress akan muncul yang pada akhirnya akan memperberat persepsi responden terhadap nyeri.
 Kecemasan merupakan salah satu dari faktor yang mempengaruhi nyeri. Hubungan nyeri dan kecemasan bersifat kompleks, sehingga keberadaanya tidak terpisahkan. Kecemasan sering kali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan cemas. Apabila rasa cemas tidak mendapatkan perhatian, maka rasa cemas tersebut akan menimbulkan suatu masalah penatalaksanaan nyeri yang serius.

Relaksasi Autogenik Terhadap Penurunan Skala Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang actual dan potensial. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan banyak orang dibanding suatu penyakit manapun (Smeltzer, 2010).Tanpa melihat sifat, pola atau penyebab nyeri, nyeri yang tidak diatasi secara adekuat mempunyai efek yang membahayakan diluar ketidaknyamanan yang disebabkannya, hal ini dapat mempengaruhi system pulmonary, kardiovaskular, gastrointestinal, endokrin dan imunologik (Yeager dkk, 1987 dalam Smeltzer, 2010). Strategi penatalaksanaan nyeri mencakup baik pendekatan farmakologis dan non farmakologis. Semua intervensi akan sangat berhasil bila dilakukan sebelum nyeri menjadi lebih parah dan keberhasilan sering dicapai jika beberapa intervensi diterapkan secara simultan (Smeltzer, 2010).
Metode non farmakologis bukan merupakan pengganti obat - obatan, tindakan ini diperlukan untuk mempersingkat episode nyeri yang berlangsung hanya beberapa detik atau menit. Mengkombinasikan metode non farmakologis dengan obatobatan merupakan cara yang paling efektif untuk mengontrol nyeri. Pengendalian nyeri non farmakologis menjadi lebih murah, mudah, efektif dan tanpa efek yang merugikan (Potter & Perry, 2005). Salah satu metode untuk mengatasi nyeri secara non-farmakologis adalah terapi relaksasi autogenik (Asmadi, 2008). Relaksasi merupakan suatu keadaan dimana seseorang merasakan bebas mental dan fisik dari ketegangan dan stress. Teknik relaksasi bertujuan agar individu dapat mengontrol diri ketika terjadi 30 rasa ketegangan dan stres yang membuat individu merasa dalam kondisi yang tidak nyaman (Potter & Perry, 2005).
Dixhoorna and Whiteb (2004) dalam penelitiannya yang berjudul Relaxation Therapy For Rehabilitation And Prevention In Ischaemic Heart Disease : A Systematic Review And Meta-Analysis menjelaskan bahwa intervensi relaksasi dapat meningkatkan penyembuhan pada iskemik jantung dan merupakan tindakan preventif sekunder. Menurut Aryanti (2007) dalam Pratiwi (2012), relaksasi autogenik merupakan relaksasi yang bersumber dari diri sendiri dengan menggunakan kata-kata atau kalimat pendek yang bisa membuat pikiran menjadi tenang. Widyastuti (2004) menambahkan bahwa relaksasi autogenik membantu individu untuk dapat mengendalikan beberapa fungsi tubuh seperti tekanan darah, frekuensi jantung dan aliran darah. Luthe (1969) dalam Kang et al (2009) mendefinisikan relaksasi autogenic sebagai teknik atau usaha yang disengaja diarahkan pada kehidupan individu baik psikologis maupun somatik menyebabkan perubahan dalam kesadaran melalui auto sugesti sehingga tercapailah keadaan rileks.
Penelitian Shinozaki et al (2009) terhadap pengaruh autogenic training pada peningkatan keadaan umum  pasien dengan irritable bowel syndrome (IBS) melaporkan bahwa teknik relaksasi autogenik efektif dalam peningkatan emosi dan kesehatan pasien dengan irritable bowel syndrome (IBS). Menurut Gunter, Eye (2006) dalam Shinozaki et all (2009) autogenic training sudah sejak lama digunakan sebagai teknik relaksasi dan telah digunakan untuk mengurangi kecemasan, nyeri kronis, dan sakit kepala. Sejauh peneliti ketahui bahwa, pengaruh teknik relaksasi autogenik terhadap nyeri pada pasien post operasi sectio caesarea belum pernah diteliti.
Seers and Carroll’s (1998) dalam Dunford and Thompson (2010) dalam penelitiannya mengenai Systematic Review Of Relaxation In Acute Pain, mengidentifikasi ada tiga penelitian yang melaporkan bahwa penggunaan relaksasi dapat menurunkan sensasi nyeri dan distress akibat nyeri termasuk nyeri akibat prosedur pembedahan. Penelitian Kwekkeboom dan Gretarsdottir (2006) dalam Dunford and Thompson (2010) mengenai Systematic Review Of The Efficacy Of Relaxation Techniques In Both Acute And Chronic Pain, menjelaskan bahwa relaksasi autogenik berfungsi untuk menurunkan nyeri pada pasien post operasi.
Kehamilan diusia muda atau remaja dibawah usia 20 tahun akan mengakibatkan rasa takut terhadap kehamilan dan persalinan, hal ini disebabkan pada usia tersebut ibu mungkin belum siap untuk mempunyai anak dan alat - alat reproduksi ibu belum siap untuk hamil. Begitu juga kehamilan di usia tua yaitu diatas 35 tahun akan menimbulkan kecemasan terhadap kehamilan dan persalinan serta alat - alat reproduksi ibu terlalu tua untuk hamil (Wiknjosastro, H 2008). Wanita usia subur termasuk usia yang sangat produktif untuk mengalami kehamilan, sehingga wanita usia subur perlu mengetahui upaya pencegahan perdarahan pada ibu hamil supaya tidak terjadi perdarahan selama kehamilan, dan kejadian kematian pada ibu hamil dapat diantisipasi. Kehamilan diusia muda atau remaja dibawah usia 20 tahun akan mengakibatkan rasa takut terhadap kehamilan dan persalinan, hal ini disebabkan pada usia tersebut ibu mungkin belum siap untuk mempunyai anak dan alat - alat reproduksi ibu belum siap untuk hamil. Begitu juga kehamilan di usia tua yaitu diatas 35 tahun akan menimbulkan kecemasan terhadap kehamilan dan persalinan serta alat - alat reproduksi ibu terlalu tua untuk hamil (Wiknjosastro, H 2008). Wanita usia subur termasuk usia yang sangat produktif untuk mengalami kehamilan, sehingga wanita usia subur perlu mengetahui upaya pencegahan perdarahan pada ibu hamil supaya tidak terjadi perdarahan selama kehamilan, dan kejadian kematian pada ibu hamil dapat diantisipasi.
Penanganan yang sering digunakan untuk menurunkan nyeri post sectio caesarea berupa penanganan farmakologi. Pengendalian nyeri secara farmakologi efektif untuk nyeri sedang dan berat. Namun demikian pemberian farmakologi tidak bertujuan untuk meningkatkan kemampuan klien sendiri untuk mengontrol nyerinya (Van Kooten, 1999 dalam Anggorowati dkk., 2007),. Sehingga dibutuhkan kombinasi farmakologi untuk mengontrol nyeri dengan non farmakologi agar sensasi nyeri dapat berkurang serta masa pemulihan tidak memanjang (Bobak, 2004). Pengendalian nyeri non-farmakologi menjadi lebih murah, simpel, efektif, tanpa efek yang merugikan, dan ibu dapat mengendalikan sendiri keluhan nyerinya (Potter, 2005). Manajemen nonfarmakologi yang sering diberikan antara lain yaitu dengan meditasi, latihan autogenic, latihan relaksasi progresif, guide  imagery, nafas ritmik, operant conditioning, biofeedback, membina hubungan terapeutik, sentuhan terapeutik, stimulus kutaneus, hipnosis, musik, accupresure, aromatherapi (Sulistyo, 2013).
Rasa ketidaknyamanan jika tidak diatasi akan mempengaruhi fungsi mental dan fisik individu sehingga mendesak untuk segera mengambil tindakan/terapi secara farmakologis atau non farmakologis. Dalam lingkup keperawatan dikembangkan terapi non farmakologis sebagai tindakan mandiri perawat seperti terapi holostik. Kesehatan holistik merupakan suatu kelangsungan kondisi kesejahteraan yang melibatkan upaya merawat diri sendiri secara fisik, mengekspresikan emosi dengan benar dan efektif, menggunakan pikiran dengan konstruktif, secara kreatif terlibat dengan orang lain dan upaya memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi (Association for Holistic Health,1981 dalam Perry & Potter, 2006).
  Terapi holistic untuk mengatasi nyeri dapat menggunakan Sentuhan Terapeutik, Akupresur dan Relaksasi. Teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa nyeri serta dapat digunakan pada saat seseorang sehat ataupun sakit. (Perry & Potter, 2006). Teknik relaksasi merupakan intervensi keperawatan secara mandiri untuk menurunkan intensitas nyeri, meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah. Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan tegangan otot yang menunjang nyeri, ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam meredakan nyeri (Smeltzer, 2002). Relaksasi secara umum sebagai metode yang paling efektif terutama pada pasien yang mengalami nyeri (National Safety Council, 2003)[8]

D.    Operasi Caesar Dalam Hukum Islam
Dengan adanya jalan baru atau solusi bagi ibu hamil yang mempunyai kendala atau mengalami hal-hal yang tidak memungkinkan untuk melahirkan secara normal terciptanya putaran tingkat keminatan pada ibu hamil antara kelompok yang memilih persalinan normal atau operasi Caesar. Lalu pada saat ini, operasi Caesar tersebut sudah banyak diminati oleh ibu hamil yang memilih jalan tersebut, hingga begitu lumrah dan bukan lagi menjadi pilihan darurat seorang ibu dari persalinan normal yang dihindari nya, justru lebih terkesan mencari keringan dibanding mengurangi keringanan, sebenarnya mampu atau sanggup melahirkan normal tetapi malah memilih operasi Caesar untuk menghindari rasa sakit yang berlebih, pemulihan yang relatif lama, dan mengecilkan resiko mempunyai keturunan banyak. Bahkan ada  keuntungan yang tidak masuk akal demi mendapatkan keinginan tertentu seperti melakukan operasi Caesar karena ingin anaknya lahir dihari yang sudah ditentukan keluarga meskipun belum waktunya anak itu lahir sacara alamiah. Atau bahkan dari pihak Rumah sakit menyengajakan untuk melakukan tindakan operasi Caesar hal ini keluar dari integritas kedokteran yang harusnya mendahulukan keselamatan pasien justru ini mengedepankan keuntungan instansi kesehatan, maka dari itu banyak kritik yang disampaikan oleh pihak yang dianggap dirugikan atas keputusan operasi Caesar ini namun tidak sedikit pula yang meminta dilakukan operasi untuk menghindari rasa sakit saat melahirkan normal.
Ketika zaman dahulu pembedahan atau pembelekan dilakukan ketika persalinan secara normal tidak bisa dilakukan, ketika itu teknologi dan fasilitas tidak seperti sekarang, semua dilakukan secara manual menggunakan bahan alternative dan herbalis jadi, pembedahan ini sudah dipraktekan dari dahulu sebelum peradaban sepesat sekarang ini.

Sejarah Operasi Caesar
Apa yang sudah dipaparkan tadi, pembedahan perut dan rahim untuk mengeluarkan bayi dari kandungan adalah praktik yang sudah dilakukan dari dahulu, sehimhha miat atau tindakan yang diambil jika sudah tidak ada jalan lain yang dilakukan untuk mengeluarkan jabang bayi baru lah pembedahan perut dilakukan meski nyawa sang ibu tidak difikirkan hidupnya demi menyelamatkan bayi yang ada didalam perut sang ibu, lalu pada abad ke-19 mulailah banyak praktik yang menggunakan bedah perut untuk menyelamatkan bayi, dari sini pula lah mulai terfikirkan bagaimana caranya menyelamatkan bayi tapi sang ibu tetap terselamatkan pula nyawanya. Maka makin tinggi tingkat keberhasilan operasi pembedahan, teknologi pun mulai dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan medis.
Seorang ilmuwan bernama Robert II dari Skotlandia dilahirkan dengan operasi Caesar lalu ibu nya meninggal saat itu juga, lalu ada kemajuan tentang keberhasilannya pembedahan ini berada di Siegershausen, Swiss yaitu seorang peternak babi yang terpaksa membelek istrinya sendiri demi menyelamatkan anaknya yang sudah lama kontraksi dan pembukaan namun sang istri tidak menunjukan tanda-tanda akan melahirkan, maka dibedah lah dibagian perut agak kebawah sehingga sangat hati-hati ia menyayat istrinya agar tidak banyak kehilangan darah.

Regulasi Operasi Caesar di Indonesia
Landasan hukum yang mendasari praktik operasi Caesar ini tercantum dalam pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran (informed concent) yaitu tanda persetujuan dari pihak pasien yang terkait untuk memberikan informasi yang akan dilakukan tindakan seperti apa dan konsekuensinya seperti apa lalu bagaimana pelaksanaannya, dengan terbuka dan memberi kebebasan ruang terhadap pihak pasien untuk menyetujui atau justru menolaknya. Isi informed concent diatur dalam pasal 7 ayat 3 tentang persetujuan tindakan kedokteran, Setidaknya informasi yang diajukan dokter kepada pihak keluarga yaitu seputar :
a.    Diagnosis dan tata cara tindakan medis
b.    Tujuan tindakan medis yang dilakukan
c.    Alternatif tindakan lain dan resikonya
d.   Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e.    Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
f.     Perkiraan pembiayaan
Ini adalah salah satu cara untuk mencapai persetujuan bersama pihak yang bersangkutan dalam melakukan tindakan operasi Caesar yang beresiko tinggi, karena pada dasarnya ini adalah tindakan operasi pada umumnya yang melibat kan dokter kandungan, anestesi, dan perawat lainnya. Dari penelitian yang dilakukan Kiswati dia menyebutkan bahwa agar program berjalan lancar dan pihak rumah sakit benar-benar menemukan sumber yang tepat dan melakukan tanggung jawab atas proses selama program berlangsung.[9]

Rekayasa Hukum Islam Pada Rekayasa Operasi Caesar
Menurut pandangan Muhammad Shalih Munajjid perihal operasi pembedahan ini kadang kali sering direkomendasikan oleh dokter untuk melakukan operasi Caesar tanpa adanya indikasi medis yang jelas atau tuntutan untuk dilakukan karena faktor lain. Atau justru alasan seseorang melakukan operasi Caesar karena pasien tidak sabar menunggu proses kelahiran secaara normal yang akhirnya diputuskan untuk Caesar, kemudian juga ada permintaan lain yang lumrah sekali sekarang terjadi karena banyak wanita yang ingin menjaga keindahan tubuh nya agak tidak melar alias berdampak pada tubuh indahnya yang dibanggakan itu adapun untuk menghindari rasa sakit pasca persalinan normal sudah jelas sikap tersebut merupakan hal dzalim terhadap diri sendiri.
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimaullah pernah ditanya “wahai syeikh, Allah SWT telah berfirman dalam surat ‘Abasa :
Kemudian Dia memudahkan jalannya” (QS. ‘Abasa : 20). Itu adalah ayat yang dimaksudkan Allah agar bersabar dan berserah diri padaNya, lalu pertanyaan saya, apakah ini karena lemahnya sifat tawakal kepada Allah ta’ala ? Beliaupun menjawab “’Menurutku semoga Allah memberkahi anda, cara ini memang banyak digunakan orang dizaman sekarang. Saat seorang wanita hamil sudah merasa hendak melahirkan, dia segera pergi kerumah sakit kemudian dilakukanlah tindakan medis berupa operasi Caesar oleh dokter kandungan. Aku melihat ini sebagai bujukan dari setan, dan bahwa mudharatnya lebih banyak dari pada manfaat nya yang didapat. Karena dibalik keengganan seorang wanita merasakan sakit saat melahirkan normal, sesungguhnya ada beberapa faidah yang terkandung didalamnya.”
Allah memang telah menyiapkan jalan termudah bagi hamba-hambanya, hanya tinggal hambanya sendiri mau berusaha lebih atau sabar untuk tidak tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu, sebab hal ini berkaitan iman seseorang yaitu rasa pasrah yang disebut tawakal kepada takdir Allah yang sudah dipersiapkan sejak zaman ajali sehingga seharusnya kita bersabar dan tetap berjalan pada koridor yang benar tidak memaksakan kehendak yang akhirnya akan timbul penyesalan. Operasi Caesar atau pembedahan perut termasuk salah satu sikap yang tidak baik jika itu dilakukan tanpa alasan yang logis atau alasan yang diperbolehkan bahkan diharuskan operasi Caesar. Begitupun orang yang melakukan tindakan tersebut hanya untuk alasan yang irasional termasuk orang yang bermewah-mewahan yang bisa menimbulkan kefasadan, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Waqiah :

Sesungguhnya mereka sebelum itu (dahulu) hidup bermewah-mewah.” (QS. Al-Waqi’ah :45).
Tafsir yang ditulis oleh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’adi mengenai ayat diatas adalah “Kemudian Allah SWT menyebutkan amal perbuatan para penghuni neraka yang telah menghantarkan mereka kepada balasan tersebut dengan berfirman dalam surat AlWaqiah ayat  45, maksudnya bahwa dunia telah membuat mereka lalai, merak beramal (hanya untuk mendapat) balasan dunia dan mereka telah bersuka riya serta berhura-hura dengannya, sehingga angan-angan (terhadap kesenangan dunia) telah melalaikan mereka dari amal shalih.
Begitupun didalam tafsir Al-Jalalain karya dua imam jalal yaitu Jalaluddin As-Syuyuthi dan Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Beliau mengatakan maksud dari ayat 45 tersebut adalah “Sesungguhnya mereka sebelum itu bermewah-mewahan” “karena sesungguhnya mereka sebelum itu, seewaktu didunia hidup bermewah-mewah, yakni selalu mempernikmat diri dan tidak pernah dalam ketaatan”. Sebuah ayat yang mengandung peringatan agar bagi orang-orang yang berfoya-foya, menyia-nyiakan harta, serta sibuk dengan dunia akan berakhir dengan celaka.
Dalam kitab tafsir muyassar maksud dari surat Waqi’ah ayat 45 adalah bahwa mereka yang bermewah-mewahan larut dalam kenikmatan, dan semua itu didapatkan dengan cara yang haram serta mengingkari dari ajaran islam yang sebenarnya adalah untuk mengatur hidup manusia menjadi lebih baik bukan malah terjerumus kedalam hal yang justru dilarang untuk dilakukan, namun manusia merupakan makhluk yang dibekali nafsu sehingganbanyak sekali yang tidak menyadari bahwa dirinya sedang dalam zona yang dibenci Alllah SWT.
Sulaiman bin Wa’il At-Tuwaijiri (anggota Hai’ah At-Tadris Universitas Umul Quro), beliau mengeluarkan fatwa bahwa operasi Caesar yang dilakukan bukan atas dasar medis, seseorang bertanya “saya seorang tenaga medis disalah satu rumah sakit, suatu waktu ada pasien hamil yang menginginkan agar persalinan nya dilakukan operasi Caesar padahal sebenarnya tidak ada hal yang mengharus kan dilakukannya operasi tersebut, lalu apakah dengan menolak permintaan tersebut kami melanggar kode etik dan moral kedokteran atau tidak ?”. lalu Beliau menjawab bahwa dalam syariat islam tidak boleh hukumnya mengambil maadhorot, memberi madhorot dan menyebabkan madhorot, jadi jika ada wanita yang meminta di operasi Caesar namun dirinya tidak memerlukannya maka tidak diperkenankan. Karena nabi melarang dalam hadits berikut :

Tidak boleh ada madhorot (bagi diri sendiri) dan tidak boleh ada penimpaan madhorot bagi orang lain”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Kemudian, jika keadaan berbalik bahwa ketika dokter yang menyaran kan untuk dilakukannya operasi Caesar padahal kebenarannya tidak ada hambatan untung sang ibu melalui persalinan normal namun demi kepentingan pribadi sang dokter mengeluarkan surat untuk dilakukannya operasi Caesar maka sesungguhnya dia telah mengingkari sumpah dirinya sebagai dokter pada pasiennya. Karena ada alasan lain yang bersifat pribadi apalagi untuk menambah penghasilan nya sebagai dokter hal seperti itu sangat memalukan bagi seorang dokter yang mengambil kesempatan dalam penderitaan pasiennya, yang seharusnya jadi tanggung jawabnya untuk mengedepankan keselamatan pasien dan memberi pelayanan yang terbaik. Karena profesi yang didasari keikhlasan membantu sesama makhluk Allah insyaallah akan berbuah pahala tidak hanya sebatas kerja yang sifatnya duniawiyah saja, tapi bisa dijadikan lading pahal dimana saja kapan saja sebab ibadah tidak hanya tentang mahdhoh.
Kesimpulan dari pendapat diatas intinya, operasi Caesar adalah pilihan terakhir ketika tidak ada jalan lain dan terdapat indikasi medis yang mengharuskan pasien ditindak lanjuti dengan operasi Caesar maka boleh hukumnya, lalu jika tidak ditemukan indikasi spesifik yang mengharuskan pasien operasi maka tidak boleh dilakukan, sebab permintaan tersebut hanya akan menimbulkan madhorot bukan manfaat, berangkat lah dari sini hukum boleh dan tidak boleh suatu operasi apapun dilakukan antara dokter dan pasien, terutama operasi Caesar yang banyak sekali prakteknya ditunggangi kepentingan pribadi yang irasional dan menyalahi aturan medis maupun syari’ah.

Analisis Hukum Islam Pada Rekayasa Operasi Caesar
1.    Hukum-hukum Syari’at Secara Taklifiyah
Hukum islam yang sudah ditentukan Allah SWT dari perspektif ushul fiqh atau kaidah-kaidah fiqih yang mengatur semua kehidupan manusia mulai dari kebutuhan, hubungan, dan apapun yang manusia lakukan itu masuk kedalam ranah fiqih bereksplorasi.
a.       Wajib, yaitu sesuatu yang diperintahkan Allah mendapatkan pahala jika dilakukan dan mendapat dosa jika ditinggalkan contohnya adalah Sholat lima waktu dan puasa Ramadhan.
b.      Mandub, secara bahasa berarti mad’u (yang diminta). Istilahnya yaitu sesuatu yang diperintah tetapi tidak wajib atau dengan kata lain adalah sunah, contohnya Sholat rawatib dan puasa dihari senin dan kamis.
c.       Muharram atau haram, sesuatu yang dilarang oleh syar’i jika ditinggalkan pahala lah yang didapat, jika dilaksanakan mendapat dosa ini adalah kebalikan dari wajib. Haram pun bisa disebut mahzhur atau mamnu’.
d.      Makruh, secara bahasa yaitu mubghadh (yang dibenci), istilahnya yaitu sesuatu yang dibenci tetapi tidak diwajibkan untuk ditanggalkan contohnya makan menggunakan tangan kiri dan membaca bismillah ketika memakan yang berbau dan hendak melakukan maksiat.
e.       Mubah, sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan perintah Allah ataupun Sunnah nabi juga tidak dilarang. Contohnya mandi dan kegiatan sehari hari lainnya.
2.    Maqashid Al-Syar’iyyah
Secara bahasa Maqashid Al-Syar’iyyah terdiri dari dua suku kata yaitu Maqashid dan  Al-Syar’iyyah. Maqashid berasal dari bentuk jama’ dari kata maqshid yang artinya maksud tujuan, syar’iyyah secara bahasa berarti jalan menuju sumber air bisa diartikan bahwa sebagai jalan kepada pokok kehidupan. Imam Al-Ghazali menuliskan bahwa ada tiga kebutuhan primer manusia yaitu dharury, haji, dan tahsini yang pertama adalah kebutuhan pokok yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara harta, dan memelihara kehormatan.
                        Konsep dari Imam Ghazali dielaborasi oleh Eliwarti Maliki bahwa konsep itu sebagai bentuk penyerangan bukan untuk bertahan, ia tuliskan dibawah ini:

a.       Hifdz ad-Din (memelihara agama)
Menjadi hak beragama, dengan kata lain sebagai manusia harus menjalankan ibadah nya pada Allah agar terpenuhi hak dan keewajibannya dalam beribadah agar tercipta suatu umat yang kondusif dalam beragama.

b.      Hifdz an-Nafs (memelihara jiwa)
Hak untuk hidup, setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan bukan hanya sekedar untuk membela hak tetapi dijalankan kearah yang bisa menjadikan jiwa manusia itu berkualitas lebih baik lagi.
c.       Hifdz al-‘Aql (memelihara akal fikiran)
Yaitu hak untuk mendapatkan pendidikan, setiap individu sudah dibekali akal oleh Allah sehingga manfaatkanlah dengan sangat baik dan menjaganya agar tetap menjadi akal yang sehat.
d.      Hifdz al-Mal (memelihara harta)
Hak bekerja, konsepnya tidak hanya sekadar menjaga harta masing-masing dari gangguan orang lain yang akan mengambil hak kita, tetapi hak ini juga berarti menganjurkan kita bekerja dengan cara yang benar dan halal seperti umumnya.
e.       Hifdz al-Irdl (memelihara kehormatan)
Hak atas kehormatan manusia, setiap manusia mempunyai kehormatan yang diberi Allah SWT sejak diciptakannya nabi Adam as sebagai  khalifah dibumi, maka dari itu allah menjadikan kita manusia agar dijaga kehormatan dan martabat sebagai manusia yang  beradab dan itu lah yang membedakan kita berbeda dengan makhluk ciptaan Allah lainnya.
Dari uraian tentang Maqashid Al-Syar’iyyah berkaitan dengan operasi bedah Caesar yaitu hukum dilakukan nya opersi tersebut yaitu mubah, dibolehkan selama tidak menyimpang dari koridor hujkum syar’iyyah yang bisa membahayakan ibu dan ananknya karena adanya hifdz an-Nafs sesuai yang dikemukakan Imam Ghazali operasi tersebut sebagai pertahanan jiwa kita agar selamat karena ada usaha yang kita perjuangkan untuk melanjuti hidup sebagai hambaNya didunia ini, selanjutnya operasi Caesar ini boleh dilakukan karena memang ada indikasi medis yang bertujuan untuk menghilangkan madhorot yang ditimbulkan. Jika sebaliknya islam mengharamkan praktik bedah Caesar jika tidak ada indikasi medis dan dengan alasan yang memuat kepentingan pribadi yang tidak relevan dengan diharuskannya opersi.[10]

KESIMPULAN

operasi Caesar adalah pilihan terakhir ketika tidak ada jalan lain dan terdapat indikasi medis yang mengharuskan pasien ditindak lanjuti dengan operasi Caesar maka boleh hukumnya, lalu jika tidak ditemukan indikasi spesifik yang mengharuskan pasien operasi maka tidak boleh dilakukan, sebab permintaan tersebut hanya akan menimbulkan madhorot bukan manfaat, berangkat lah dari sini hukum boleh dan tidak boleh suatu operasi apapun dilakukan antara dokter dan pasien, terutama operasi Caesar yang banyak sekali prakteknya ditunggangi kepentingan pribadi yang irasional dan menyalahi aturan medis maupun syari’ah.
Dari uraian tentang Maqashid Al-Syar’iyyah berkaitan dengan operasi bedah Caesar yaitu hukum dilakukan nya opersi tersebut yaitu mubah, dibolehkan selama tidak menyimpang dari koridor hujkum syar’iyyah yang bisa membahayakan ibu dan ananknya karena adanya hifdz an-Nafs sesuai yang dikemukakan Imam Ghazali operasi tersebut sebagai pertahanan jiwa kita agar selamat karena ada usaha yang kita perjuangkan untuk melanjuti hidup sebagai hambaNya didunia ini, selanjutnya operasi Caesar ini boleh dilakukan karena memang ada indikasi medis yang bertujuan untuk menghilangkan madhorot yang ditimbulkan. Jika sebaliknya islam mengharamkan praktik bedah Caesar jika tidak ada indikasi medis dan dengan alasan yang memuat kepentingan pribadi yang tidak relevan dengan diharuskannya opersi.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar Apriansyah, Siti Romadono, dan Desy Andrianovita. “Hubungan  Antara Tingkat Kecemasan Pre-Operasi Dengan Derajat Nyeri Pada Pasien Post Sectio Caesarea Di  Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Tahun 2014.” Jurnal Keperawatan Sriwijaya 2, no. 1 (2015).
Desi Arumawati. “Evaluasi Pelaksanaan Program Inisiasi Menyusui Dini (IMD) Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang Tahun 2011.” Jurnal Kesehatan Masyarakat 1, no. 2 (2012).
Isti Mulyawati, Mahalul Azam, dan Dina Nur Anggraini Ningrum. “Faktor Tindakan Persalinan Operasi Sectio Caesarea.” Jurnal Kesehatan Masyarakat 7 (2011).
Katmono, Arijulmanan, dan Fachri Fachrudin. “Analisis Rekayasa Kelahiran Melalui Operasi Caesar  Dalam Perspektif Hukum Islam.” Al-Hidayah Ahwal Asy-Syakhshiyah 01, no. 1 (2019).
Nita Rusdiana, dan Meta Safitri. “Evaluasi Penggunaan Antibiotika Profilaksis Pada Pasien Bedah Sesar Terencana Di Rumah Sakit Ibu Dan Anak ‘X’ Di Tangerang.” Sosial Clinical Pharmacy Indonesia 1, no. 1 (2016).
Novianti Sihombing, Ika Saptarini, dan Dwi Sisca Kumala Putri. “Determinan Persalinan Sectio Caesarea Di Indonesia  (Analisis Lanjut Data RISKESDAS 2013).” Jurnal Kesehatan Reproduksi 8, no. 1 (2017).
Nung Ati Nurhayati, Septian Andriani, dan Novi Malisa. “Relaksasi Autogenik Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pada Ibu Post Operasi Sectio Saecarea.” Skolastik Keperawatan 1, no. 2 (2015).
Risza Choirunissa. “Analisis Motivasi Bidan Dalam Merujuk Pasien Untuk Dilakukan Tindakan Section Caesarea Di PPK II BPJS Di Wilayah Kecamatan Makassar Jakarta Timur Tahun 2014.” Jurnal Ilmu dan Budaya 40, no. 54 (2016).
Tati Suryati. “(Analisis Lanjut Data RISKESDAS 2010) Persentase Operasi Caesarea Di Indonesia Melebihi Standard Maksimal, Apakah Sesuai Indikasi Medis?” Buletin Penelitian Sistem Kesehatan 15, no. 4 (2012).
Ulfatul Anisah, Mursiyam, dan Mekar Dwi Anggraeni. “Pengalaman Perempuan Yang Mengalami Sectio Caesarea Atas Indikasi Pre Eklampsia Berat Di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo  Purwokerto.” Keperawatan Soedirman 5, no. 1 (2010).




[1] Risza Choirunissa, “Analisis Motivasi Bidan Dalam Merujuk Pasien Untuk Dilakukan Tindakan Section Caesarea Di PPK II BPJS Di Wilayah Kecamatan Makassar Jakarta Timur Tahun 2014,” Jurnal Ilmu dan Budaya 40, no. 54 (2016).
[2] Tati Suryati, “(Analisis Lanjut Data RISKESDAS 2010) Persentase Operasi Caesarea Di Indonesia Melebihi Standard Maksimal, Apakah Sesuai Indikasi Medis?,” Buletin Penelitian Sistem Kesehatan 15, no. 4 (2012).
[3] Ulfatul Anisah, Mursiyam, dan Mekar Dwi Anggraeni, “Pengalaman Perempuan Yang Mengalami Sectio Caesarea Atas Indikasi Pre Eklampsia Berat Di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo  Purwokerto,” Keperawatan Soedirman 5, no. 1 (2010).
[4] Nita Rusdiana dan Meta Safitri, “Evaluasi Penggunaan Antibiotika Profilaksis Pada Pasien Bedah Sesar Terencana Di Rumah Sakit Ibu Dan Anak ‘X’ Di Tangerang,” Sosial Clinical Pharmacy Indonesia 1, no. 1 (2016).
[5] Isti Mulyawati, Mahalul Azam, dan Dina Nur Anggraini Ningrum, “Faktor Tindakan Persalinan Operasi Sectio Caesarea,” Jurnal Kesehatan Masyarakat 7 (2011).
[6] Novianti Sihombing, Ika Saptarini, dan Dwi Sisca Kumala Putri, “Determinan Persalinan Sectio Caesarea Di Indonesia  (Analisis Lanjut Data RISKESDAS 2013),” Jurnal Kesehatan Reproduksi 8, no. 1 (2017).
[7] Akbar Apriansyah, Siti Romadono, dan Desy Andrianovita, “Hubungan  Antara Tingkat Kecemasan Pre-Operasi Dengan Derajat Nyeri Pada Pasien Post Sectio Caesarea Di  Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Tahun 2014,” Jurnal Keperawatan Sriwijaya 2, no. 1 (2015).
[8] Nung Ati Nurhayati, Septian Andriani, dan Novi Malisa, “Relaksasi Autogenik Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pada Ibu Post Operasi Sectio Saecarea,” Skolastik Keperawatan 1, no. 2 (2015).
[9] Desi Arumawati, “Evaluasi Pelaksanaan Program Inisiasi Menyusui Dini (IMD) Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang Tahun 2011,” Jurnal Kesehatan Masyarakat 1, no. 2 (2012).
[10] Katmono, Arijulmanan, dan Fachri Fachrudin, “Analisis Rekayasa Kelahiran Melalui Operasi Caesar  Dalam Perspektif Hukum Islam,” Al-Hidayah Ahwal Asy-Syakhshiyah 01, no. 1 (2019).

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Jurnal Akidah Akhlak Adab Bergaul Dengan: Remaja, Teman Sebaya, Orang Yang Lebih Tua, Orang Yang Lebih Muda, Dan Lawan Jenis

MAKALAH DASAR-DASAR QUR’ANI DAN SEJARAH TIMBULNYA ILMU KALAM

MAKALAH PENGETIAN MAHABBAH DAN TOKOH YANG MENGEMBNGKAN MAHABBAH

JURNAL ADAB DALAM PERJALANAN/SAFAR DAN DALILNYA

Jurnal Akidah Akhlak Tentang Akhlak Murid Terhadap Guru Menurut Kitab Ta'lim Muta'llim

Jurnal Hukum Adab Bertetangga Dan Implementasinya

Journal Adab membesuk orang yang sedang sakit terbaru

Problematika Hukum dan Ideologi Jual Beli Islam [Studi Jual Beli Kredit Di Pasar Bandar Agung]