IJTIHAD KONTEMPORER : UPAYA KONTEKSTUALISASI FIQIH
IJTIHAD KONTEMPORER : UPAYA KONTEKSTUALISASI FIQIH
Abdul Rohim
1701010092
Email: abdulrohim35949@gmail.com
Abstrak
Berbagai persoalan baru tentang hukum-hukm yang berkaitan dengan
ajaran Islam senantiasa bermunculan mengitari kehidupan, yang tidak boleh
tidak, fiqh Islam harus memberi jawaban yaitu dengan cara ijtihad. Dengan
demikian terbukti bahwa syariat Islam cocok untuk semua masa dan tempat. Pada
era keterbukaan ini, banyak generasi muda Islam yang memperlihatkan keberanian
dan bakatnya dengan mengeluarkan pernyataan-pemyataan sehubungan dengan
persoalan-persoalan kontemporer yang muncul di tengah masyarakat. Mereka itu
adalah aset umat yang perlu dibina agar menjadi mujtahid yang kini dirasakan
semakin langka. Otoritas berijtihad bukanlah faktor sarjana atau bukan sarjana,
bukan pula faktor berani atau tidak berani tetapi faktor kemampuan untuk
berijtihad. Pada masa-masa yang akan datang diduga keras persoalan-persoalan
baru akan bermunculan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
ABSTRACT
Various new issues regarding law-law relating to the teachings of
Islam always arise around life, which must not be avoided, Islamic fiqh must
provide an answer that is by means of ijtihad. Thus it is evident that Islamic
law is suitable for all times and places. In this era of openness, many young
generations of Islam who show courage and talent by issuing statements in
connection with contemporary issues that arise in the community. They are the
assets of the people who need to be fostered in order to become mujtahid, which
are now increasingly rare. The authority of berijtihad is not a bachelor or
non-bachelor factor, nor is a daring or daring factor but a factor of the
ability to do jihad. In the future it is strongly suspected that new problems
will emerge along with the development of science and technology.
PENDAHULUAN
Hukum Islam menghadapi tantangan lebih kompleks, terutama pada abad
kemajuan pengetahuan dan teknologi. Untuk menjawab berbagai masalah baru yang
berhubungan dengan hukum Islam, para ahlinya sudah tidak bisa lagi hanya
mengandalkan ilmu tentang fikih, hasil ijtihad di masa lampau. Alasannya,
karena di sana sini mungkin terdapat pendapat-pendapat yang tidak atau kurang
relevan dengan abad kemajuan ini. Oleh karena itu, ummat Islam perlu mengadakan
penyegaran kembali terhadap warisan fikih, dalam konteks ini, pemakalah akan
mengetengahkan topik yang cukup menarik “Ijtihad: Fungsi dan Urgensinya”.
Pembahasan topik ini sangat
signifikan untuk di diskusikan, dan yang paling penting lagi agar mampu
menemukan rumusan-rumusan baru fikih dalam rangka memberikan jawaban terhadap
masalah-masalah sekarang yang belum ada jawabannya dalam kitab-kitab fikih masa
silam. Di sinilah ijtihad menjadi sebuah kemestian dan metode ijtihad mutlak
harus di kuasai oleh mereka yang akan melakukannya. Metode ijtihad itulah yang
di kenal dengan Usul Fikih.
Hal-hal yang akan di bahas pada makalah ini diantaranya :
Pengertian Ijtihad, Landasan Ijtihad, Urgensi Ijtihad, Nilai Ijtihad,
Syarat-syarat Ijtihad, Medan (lapangan Ijtihad, Ijtihad di masa sahabat. Dari
penyajian seperti diatas, makalah ini diharapkan, di samping dapat memberikan
informasi tentang berbagai macam konsep Usul Fikih juga dapat mempermudah kita
untuk menentukan pilihan pendapat mana di antara berbagai pendapat yang tepat
saat ini.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ijtihad.
a.
Ijtihad Menurut secara bahasa (Etimologi).
Ijtihad diambil dari akar kata dalam bahasa Arab. “Jahada ﺠﻬﺩ.[1] Bentuk kata mashdarnya ada dua bentuk
yang berbeda artinya: Jahdun ( ﺠﻬﺩ ) dengan arti kesungguhan atau sepenuh
hati atau serius. Kalimat ini dapat di temukan dalam al-Qur’an surah Al-An’am,
Ayat 109.
(#qßJ|¡ø%r&ur «!$$Î/ yôgy_ öNÍkÈ]»yJ÷r& ûÈõs9 öNåkøEuä!%y` ×pt#uä ¨ûäöÏB÷sã©9 $pkÍ5 4 ö@è% $yJ¯RÎ) àM»tFy$# yZÏã «!$# ( $tBur öNä.ãÏèô±ç !$yg¯Rr& #sÎ) ôNuä!%y` w tbqãZÏB÷sã
Artinya: Mereka bersumpah
dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa sungguh jika datang kepada
mereka sesuatu mu jizat, Pastilah mereka beriman kepada-Nya. Katakanlah:
"Sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu Hanya berada di sisi Allah". dan
apakah yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila mukjizat datang mereka tidak
akan beriman
Juhdan ( ﺠﻬﺩﺍ ) denagn arti
kesanggupan atau kemampuan yang di dalamnya terkandung arti sulit, berat dan
susah, contohnya firman Allah SWT dalam surah at-Taubah ayat 79
×ouä!#tt/ z`ÏiB «!$# ÿ¾Ï&Î!qßuur n<Î) tûïÏ%©!$# N?yg»tã z`ÏiB tûüÏ.Îô³ßJø9$# ÇÊÈ
Artinya:
Dan orang-orang yang tidak memperoleh selain sekedar kemampuannya maka orang
yang munafik itu menghina mereka.
Pengertian
secara lughowi dan istilah akan terlihat serasi bila di hubungkan, karena
ijtihad tersebut mengandung arti kesanggupan dan kemampuan maksimal.
b.
Ijtihad Menurut istilah
Para ulama telah mendefinisikan “Ijtihad” dalam rumusan yang berbeda
akan tetapi satu sama lainnya terlihat saling menguatkan dan menyempurnakan.
Imam Abi Ishaq Ibrahim dalam kitabnya Al-Luma’ fi Ushuli al-Fiqh
memberikan definisi : Pengerahan kemamapuan dan menggerakkan kesanggupan untuk
memperoleh hukum syara’
Dalam definisi ini digunakan kata Istifroghu al-wus’i dan bazlu
al-wus’i, hal ini dapat dipahami bahwa berijtihad merupakan kerja keras yang
memerlukan pengarahan kemampuan. Oleh karenanya apabila usaha itu dilakukan
tidak serius dan tidak tidap sepenuh hati. Oleh karenanya apabila usaha itu
dilakukan tidak serius dan tidak sepenuh hati, maka tidak dapat dikatakan
ijtihad. Penggunaan kata Syar’i mengandung arti bahwa yang dihasilkan dalam
usaha ijtihad ada hukum Syar’i atau ketentuan yang menyangkut tingkah laku
manusia. Sebagai fasal (kata pemisah dalam definisi itu, kata Syar’i ini
mengeluarkan dari pengertian ijtihad bentuk usaha menemukan sesuatu yang
bersifat aqli, lughowi dan hissi. Pengarahan kemampuan untuk menemukan yang
demikian itu tidak disebut ijtihad.
Imam Al-Syaukani dalam kitabnya Irsyad al-Fuhuli memberikan
defenisi. Menggerakkan kemampuan dalam memperoleh hukum Syara’ yang bersifat amali
melalui cara istimbat.
Selanjutnya dalam definisi itu, disebutkan cara menemukan hukum
Syar’i yaitu melalui istimbat yang pengertiannya memungut atau mengeluarkan
sesuatu dari dalam kandungan lafaz. Hal ini berarti bahwa ijtihad itu adalah
usaha memahami lafaz dan mengeluarkan hukum dari lafaz tersebut. Sebagai fasal
(kata pemisah dalam defenisi, kata ini mengeluarkan dari pengertian ijtihad
bentuk usaha mengeluarkan hukum dari nash yang memang secara jelas telah
menunjuk kepada hukum tersebut.
Saifuddin Al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam menyempurnakan dua
defenisi sebelumnya. Penambahan fasal dalam defenisi Al-Amidi tersebut
mengandung arti bahwa penarahan kemampuan tersebut dilakukan secara maksimal.
Dengan demikian, pengarahan kemampuan secara sembrono, asal-asalan atau
sekedarnya saja tidak dinamakan ijtihad. Dari menganalisa defenisi di atas dan
membandingkannya dapat diambil hakikat dari ijtihad itu sebagai berikut:
Ijtihad adalah pengarahan daya nalar secara maksimal; Usaha ijtihad
yang dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu di bidang
keilmuan yang di sebut fiqih; Produk atau yang diperoleh dari usaha ijtihad itu
adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah; Usaha
ijtihad ditempuh melalui cara-cara istinbath.
1.
Landasan Ijtihad
Banyak alasan yang menunjukkan kebolehan melakukan ijtihad antara
lain:
a.
Surah
An-Nisa (4): 59
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya:
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-Qur'an
dan Sunnah, menurut Ali Hasaballah, adalah peringatan agar orang tidak
mengikuti hawa nafsunya dan mewajibkan kembali pada Allah dan Rasulnya dengan
jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadist yang barangkali tidak
mudah untuk dijangkau begitu saja atau berijtihad dengan menerapkan
kaedah-kaedah umum yang disimpulkan dalam Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah.
b.
Hadist yang diriwayatkan dari Mu'az bin Jabal ketika ia akan diutus
ke Yaman, menjawab pertanyaan Rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum, ia
menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan Al-Qur'an kernudian dengan sunnah
Rasulullah dan kemudian dengan melakukan ijtihad. Secara umum, hukum ijtihad
itu adalah wajib artinya, seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk
vumenggali dan merumuskan hukum Syara' dalam hal-hal yang Syara' sendiri tidak
menetap secara jelas dan pasti.
Menurut al-Syatibi, ayat-ayat al-Qur'an yang tergolong kepada
qoth'i tidak dapat di ternbus oleh ijtihad, sedangkan ayat yang tergolong
kepada Zhanni merupakan lapangan ijtihad dan interpretasinya dapat berkembang
dalam perubahan sosial.
2.
Urgensi Ijtihad
Dalam Islam, ijtihad merupakan bahasan yang tak henti-hentinya dan
menjadi kajian ramai para ulama zaman klasik hingga sekarang, sebut saja
misalnya Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa-nya. Demikian juga dengan Imam
as-Syaukani dalam bukunya Irsyad al-Fukhul sampai pada ulama-ulama kontemporer
semisal Abdul Wahab Khalaf, Yusuf Qaradhawi, Wahbah Zuhaili, dan Ali Jum’ah. Bahkan hampir di setiap
buku-buku ushul fikih selalu disisakan ruang pembahasan resmi tentang ijtihad.
Adapun sandaran teks-teks keagamaan yang
mengatakan bahwa ijtihad masih relevan sampai zaman sekarang diantaranya adalah
Firman-Nya:
“Fain
tanâza’tum fî syaiin farudduhu ilalLâh wa al-Rasuli inkuntum tu’minu bilLahi
wal-yaumu al-âkhir” (QS:4:59).
Artinya: “ Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.” (QS:4:59).
Adanya kalimat “al-rad” dalam ayat tersebut mengindikasikan akan
adanya ijtihad yang harus dilakukan oleh manusia. Selain itu, ayat lain
menyebutkan “wa amruhum syurâ bainahum”, kata “syura” dalam ayat tersebut
mengandung arti pembahasan segala sesuatu untuk menentukan hukum syar’i pada
setiap permasalahan dengan merujuk pada
dalil yang terdapat pada nash ataupun tidak. Hal ini tidak lain
merupakan suatu ijtihad. Begitu juga dengan perkataan Rasul yang menyebutkan
bahwa Allah akan mengutus seorang pembaharu agama pada umat Islam dalam setiap
seratus tahunnya. Pembaharu (mujaddid) tersebut sudah barang tentu adalah orang
yang memiliki pengetahan yang luas dan kafa’ah dalam ilmu syariah sehingga
mampu menghidupkan Sunah dan menghindari bidah. Tidak lain adalah ijtihad itu sendiri. Dalam hadis lain, Nabi mengatakan bahwa apabila
seseorang berijtihad dan dia benar maka baginya dua pahala, namun bila dia
salah maka baginya satu pahala. Begitu juga dengan perizinan Nabi kepada
sahabat Mu’adz bin Jabal ra. ketika mengutusnya
ke Yaman untuk tidak mengapa berijtihad ketika di dalam al-Quran dan
Sunah tidak didapati legalitas sebuah
obyek.
Bersama dengan hal ini, maka sepatutnya kita mengatakan bahwa pintu
ijtihad sampai sekarang masih terbuka, bahkan menjadi suatu kebutuhan yang primer
terutama pada era globalisasi seperti sekarang ini, dimana perkembangan
teknologi dan munculnya permasalahan-permasalahan baru selalu menuntut
legalitas hukum. Oleh karenanya hampir semua ulama menyatakan akan wajibnya
berijtihad bagi siapa saja yang telah mampu dan memenuhi kriteria untuk
berijtihad. Dr. Wahbah Zuhali, ulama kontemporer dari Damaskus Siria
berpendapat, bahwa tuntutan perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan di masa
ini mengharuskan kita untuk menggunakan ijtihad sebagai instrumen pengambilan hukum. Hal senada juga di
ungkapkan oleh Abdurrahman Zaidi dalam risalah magister-nya yang berkenaan
dengan masalah ijtihad, ia menyatakan bahwa ijtihad merupakan perbuatan yang
terpuji bahkan dharuri, hal itu didasarkan pada dua alasan utama. Pertama,
tidak diperbolehkannya seorang muslim menggunakan hawa nafsunya dalam
memutuskan hukum pada setia kejadian dan masalah-masalah baru, maka menjadi
wajib bagi kita menggunakan ijtihad.
Kedua, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama akan kebutuhan berijtihad
dalam menentukan hukum pada setiap permasalahan yang ada.
Maka, pendapat yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup
pada dasarnya hal itu disandarkan pada sejarah dimana ketika abad ke-4 Hijriyah
umat Islam saat itu mengalami perpecahan. Dr Ahmad Buud (2006) berhipotesa
akan beberapa hal yang menyebabkan
kemandegan dalam berijtihad saat itu diantaranya adalah, pertama, fanatisme
mazhabiyyah tertentu. Kedua, hilangnya
rasa kebebasan individu, karena pada masa tersebut, otoritas pemerintahan
dipegang oleh seorang raja (hegemoni kekuasaan) bukan lagi khalifah. Ketiga,
para ulama fikih sendiri banyak yang terjerumus pada urusan politik, sehingga
fatwa-fatwa mereka lebih banyak digantungkan pada kondisi politik tertentu atau
saat itu. Keempat, terpecahnya Daulah al-Islamiyah menjadi beberapa wilayah,
sehingga proses kreatif berijtihad menjadi sedikit terhambat.
Kemandegan berijtihad tersebut pada akhirnya banyak menimbulkan
pengaruh negatif bagi umat Islam itu sendiri, diantaranya tercerabutnya
nilai-nilai dakwah dari sistem Islam itu sendiri. Terlihat seakan-akan ada
jurang pemisah antara syariah dengan fenomena hidup yang terjadi. Padahal
hakekatnya, syariat Islam selamanya akan sesuai dengan dilalektika hidup. Namun
seiring berjalannya waktu, akhirnya membawa umat Islam pada sebuah kesadaran
bahwa Islam dengan sistem holistiknya tidak akan bisa berkembang jika pintu
ijtihad tertutup. Titik kesadaran umat Islam juga mulai sembuh dengan adanya
usaha merekonstruksi kembali pemahaman Islam, yang tak lain adalah pembumian
kembali konsep ijtihad tadi. Akhirnya dunia Islampun senantiasa membuka pintu
selebar-lebarnya kepada para mujtahid untuk berijtihad dan berkreasi.
Uraian di atas sebenarnya mengerucut pada pembahasan mengenai
pentingnya ijtihad dan urgensinya dalam kehidupan kita, sebagai upaya pembumian
syariat islam yang kita yakini sebagai manhaj hidup. Dengan ijtihad, maka
syariat Islam selamanya akan terlihat eliminer dalam berbagai ruang dan waktu.
Tak ayal, ijtihad di era kontemporer adalah suatu keniscayaan.
Dalam hal ini, ijtihad telah terbukti menjadi alat yang ampuh untuk
menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi oleh umat Islam sejak masa awal
Islam sampai pada masa keemasannya. Melalui ijtihad, masalah-masalah yang baru
dan tidak terdapat di dalam Alquran dan hadis dapat dipecahkan oleh para
mujtahid. Dengan ijtihad, Islam mampu berkembang dengan pesat menuju
kesempurnaannya. Sebaliknya, ketika ijtihad sirna dari kalangan umat Islam,
mereka mengalami kemunduran. Ijtihad merupakan kunci dinamika ajaran Islam,
termasuk bidang hukumnya (Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih
Muhammadiyyah, 1995).
Ijtihad adalah ruh penggerak berkembang dan majunya berbagai
pemikiran keagamaan pada masa kejayaan Islam tempo dulu, bahkan hingga saat
ini. Padahal, jika dicermati lebih dalam, di dalam Al-Qur’an sebetulnya tidak
ada kata ijtihad dalam pengertian yang dipahami saat ini. Yang ada justru
adalah kata jihad. Ijtihad sangat urgen dan penting artinya. Dalam setiap masa,
harus ada orang-orang spesialis dan benar-benar tahu bagaimana menerapkan
dasar-dasar Islam pada berbagai masalah zaman yang senantiasa berubah. Mereka
juga harus mengetahui kategori suatu masalah dalam kerangka dasar-dasar Islam.
3.
Nilai Ijtihad
Ada legalisasi niscayanya ijtihad, dalam pengertian optimalisasi
kemampuan nalar, di dalam sunah Nabi. Di antaranya, ketika hendak mengutus
Muadz bin Jabal ke Yaman, beliau menanyakan soal apa yang jadi landasan Muadz
nantinya ketika menghukumi sesuatu. Muadz mengatakan akan menggunakan
Kitabullah. Jika tidak ada dalam Kitabullah, maka menggunakan sunah Rasulullah.
Jika tidak ada, maka menggunakan ijtihad nalar (HR. Bukhari-Muslim). Nabi
sendiri mengatakan bahwa seorang yang berijtihad, dan ijtihadnya benar, maka ia
mendapatkan dua pahala. Pahala ijtihad dan pahala benarnya ijtihad itu.
Atas dasar itu, dapat dipahami bahwa tidak ada sesuatu pun yang
punya realitas mutlak. Dari sini mulailah terjadi perubahan ilmu yang
sesungguhnya dalam artian perubahan hakikat dan bukan perubahan bentuk. Tidak
ada realitas lain kecuali hasil ijtihadnya itu. Sekiranya ijtihad yang
dilakukan para mujtahid mengalami perubahan dan mereka sepakat bahwa hukum
sesuatu adalah demikian, maka hukum sesuatu itu pun sesuai dengan hasil ijtihad
mereka. Jika para mujtahid berkesimpulan lain pada suatu zaman, maka
realitasnya pun sama dengan hasil ijtihad mereka ini. Apa pun penyebab
perubahan dalam ijtihad mereka, misalnya saja, kemajuan dalam bidang
kebudayaan, ada kesamaan antara ijtihad dengan realitas. Tidak menjadi
persoalan bahwa dalam suatu masalah Islam mempunyai seratus hukum, karena kita
juga punya seratus bentuk ijtihad dalam masalah ini.
4.
Syarat-Syarat Ijtihad
Seseorang yang akan melakukan ijtihad, harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a.
Menguasai Al-Qur'an dengan dengan segala ilmunya. Artinya memiliki
ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat Al-Qur'an terutama yang berkaitan
dengan masalah-masalah hukum.
b.
Menguasai Sunnah Nabi dengan segala ilmunya Artinya memiliki ilmu
pengetahuan yang luas tentang Sunnah Nabi terutama yang berkaitan dengan
masalah hukum.
c.
Mengetahui dan menguasai masalah-masalah yang telah disepakati oleh
para ulama, yaitu masalah yang telah menjadi ijma’.
d.
Memiliki pengetahuan yanag luas tentang qiyas, dan ilmu logika,
yang akan dipergunakan dalam proses istinbat hukum.
e.
Menguasai bahasa Arab dengan segala ilmunya, karena al-Qur'an dan
al-Sunnah sebagai sumber hukum tersusun dalam bahasa Arab.
f.
Memiliki pengetahuan yang mendalam tentang nasakh dan mansukh dalam
alQur'an dan Sunnah.
g.
Memiliki pengetahuan yang luas tentang ilmu Ushul fiqh, dan
kaidah-kaidah istinbat hukum.
h.
Memiliki pengetahuan tentang Asbab al-Nuzul ayat-ayat al-Qur'an dan
Asbab alWurud hadist, untuk mengetahui latar belakang turunnya ayat atau
keluarnya hadist Nabi, agar mampu menggali hukum dengan tepat terhadap masalah
yang di hadapinya.
i.
Mengetahui riwayat dan latar belakang para rawi hadist, untuk
menilai kualitas hadist terutama yang akan di jadikan landasan istinbath hukum.
j.
Memiliki pengetahuan yang mendalam tentang maksud syariah (maqashid
al-Syari’).
k.
Memiliki pengetahuan tentang manusia dan lingkungan tempat ia
berijtihad, serta memilki pengetahuan tentang masalah yang menjadi objek
ijtihad.`
l.
Di samping syarat-syarat intelektual di atas, seseorang yang akan
berijtihad, ia juga harus memiliki sifat-sifat lain yang berkaitan dengan
integritas dan moralitas pribadinya, yaitu niat yang ikhlas untuk mencari
kebenaran, taqwa kepada Allah SWT, dewasa, berakal, sehat jasmani dan rohani,
jujur dan sifat-sifat terpuji lainnya.[10]
5.
Lapangan Ijtihad
Para ulama Ushul fiqh sepakat bahwa ayat-ayat atau hadist
Rasulullah yang sudah tidak diragukan lagi kepastiannya (Qathi’) datang dari
Allah dan Rasulnya seperti Al-Qur'an dan hadist Mutawatir (hadist yang
diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin berbohong). Al-Qur’an
yang beredar di kalangan umat Islam sekarang ini adalah pasti (Qathi’)
keasliannya datang dari Allah dan begitu juga hadist Mutawatir adalah pasti
(Qathi’) datang dari Rasulullah. Kepastian itu dapat diketahui karena baik
Al-Qur’an atau hadist Mutawatir sampai kepada kita dengan riwayat yang
Mutawatir yang tidak ada kemungkinan adanya pemalsuan. Pada dasarnya ijtihad
itu dilakukan dalam menghadapi masalah-masalah yang hukumnya tidak jelas dalam
Al-Qur'an maupun hadist nabi.
Hal ini sejalan dengan apa yang dapat ditangkap dari dialog antara
nabi dengan Mu'az bin Jabal yang menyatakan bahwa ia akan rnelakukan ijtihad
bila tidak mendapatkan dari Al-Qur' an dan hadist. Dengan demikian secara
sederhana dapat dikatakan bahwa lapangan ijtihad itu adalah masalah-masalah
yang hukumnya tidak dijelaskan dalam Al-Qur'an dan hadist.
Demikian pula halnya para ulama Ushul fiqh telah sepakat bahwa
ijtihad tidak lagi diperlukan pada ayat-ayat atau hadist yang menjelaskan hukum
secara jelas dan pasti (Qathi'). Wahbah Az-Zuhaili menegaskan tidak dibenarkan
berijtihad pada hukumhukum yang sudah ada keterangannya secara tegas dan pasti
dalam Al-Qur'an dan sunnah misalnya kewajiban melakukan solat lima waktu,
kewajiban berpuasa, zakat, haji, larangan berzina dan lain-lain yang telah
ditegaskan dalam Al-Qur'an dan sunnah.
Adapun hal-hal yang menjadi lapangan ijtihad, seperti yang
dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf, adalah masalah-masalah yang tidak pasti
(zhanni baik dari segi datangnya dari Rasul atau dari segi pengertiannya yang
dapat dikategorikan kepada tiga macam).
a.
Hadist Ahad, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh seseorang atau
beberapa orang yang tidak sampai kepada Hadist Mutawatir. Mengenai
hadist-hadist ahad, dapat dilakukan ijtihad. Si mujtahid membahas sah tidaknya
sanad dan jalan sampainya kepada mujtahid. Hukum-hukum yang tidak ada nash dan
bukan urusan yang mudah di ketahui bahwa dia dari agama, tetapi telah ijma’
maka si mujtahid hanya memeriksa benarkah telah ijma’ atau tidak. Dan sesuatu
yang ada nash, dhanni tsubut dan dalalahnya maka kita harus pelajari dalalahnya
juga segi umum dan khusunya. Sesuatu yang ada nash qath’i tsubutnya, tetapi
dhanni dalalahnya, sesuatu yang ada nash qath’i tsubutnya, tetapi dhanni
dalalahnya, sesuatu yang ada nash dhanni tsubutnya, qath’i dalalahnya, sesuatu
yang tak ada nashnya, dan tidak diketahui dengan mudah bahwa dia dari agama inilah
yang diperlukan ijtihad.
b.
Lafal-lafal redaksi Al-Qur’an atau Hadist yang menunjukkan
pengertiannya secara tidak tegas (zhanni) sehingga ada kemungkinan pengertian
lain selain yang cepat di tangkap ketika mendengar bunyi lafal atau redaksi
itu. Ayat-ayat atau hadist yang tidak tegas pengertiannya ini menjadi lapangan
ijtihad dalam upaya memahami maksudnya. Fungsi ijtihad disini adalah untuk
mengetahui makna sebenarnya yang di maksud oleh suatu teks. Dalam hal ini
sering membawa kepada perbedaan pendapat ulama dalam menetapkan hukum.
c.
Masalah-masalah yang tidak ada teks ayat atau hadits dan tidak pula
ada ijma’ yang menjelaskan hukumnya. Dalam hal ini ijtihad memainkan perannya
yang amat penting dalam rangka mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Fungsi ijtihad disini adalah meneliti dan
menemukan hukumnya lewat tujuan hukum, seperti dengan qias, istihsan, maslahah
mursalah, ‘uruf, istishab, dan sadd al-zari’ah. Di sini terbuka kemungkinan luas
untuk berbeda pendapat.
6.
Ijtihad di Masa Sahabat
Menurut Amiur Nuruddin dalam bukunya, Ijtihad Umar bin
al-Khaththab: Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam (1991), memang Islam
selalu mencari bentuk-bentuk yang baru, serta segar bagi realisasi dirinya. Dan
ternyata, ia senantiasa menemukan bentuknya. Bentuk-bentuk itu lahir ketika
menampung kemaslahatan pada tiap perkembangan dan penambahannya. Kemaslahatan
dapat diwujudkan dalam bentuk pertimbangan terhadap kondisi dan situasi sosial
untuk selanjutnya menafsirkan preseden hukum yang telah mapan.
Bila pada masa Nabi masih hidup telah terjadi ijtihad yang
dilakukan oleh Nabi atau oleh para sahabat ketika tidak ditemukan petunjuk
dalam menghadapi suatu masalah hukum karena tempatnnya berjauhan dari Nabi atau
wahyu terlambat turun, maka setelah Nabi wafat pelaksanaan ijtihad oleh para
sahabat semakin banyak terjadi. Penyebab sering terjadinya ijtihad itu adalah
karena masalah yang menuntut jawaban hukum semakin banyak sebab semakin maju
dan berkembangnya kehidupan sosial yang memunculkan masalah baru yang
memerlukan jawaban hukum, sedangkan wahyu sebagai sumber hukum sudah terhenti
sama sekali, baik wahyu yang tertulis (al-Qur’an), maupun wahyu tidak tertulis
(sunnah Nabi).
Di bawah ini akan dikemukakan beberapa contoh ijtihad pada masa
sahabat:
a.
Pada waktu Nabi masih hidup bahkan sampai wafatnya, Al-Qur’an itu
belum terkumpul, tetapi terekam dalam hapalan para sahabat yang menghapalnya.
Dalam suatu perang melawan orng kafir banyak penghapal Al-Qur’an yang
meninggal. Dikhawatirkan hilangnya kumpulan wahyu Allah dengan meninggalnya
semua penghapal. Timbullah ide untuk mengumpulkan Al-Qur’an, tetapi petunjuk
dari wahyu dan dari nabi untuk itu tidak ada. Namun karna ide tersebut baik,
dalam rangka menjaga keutuhan wahyu, maka terlaksanalah pengumpulan wahyu
Al-qur’an itu, meskipun belum tersusun secara teratur sebagaimana dalam
bentuknya yang sekarang. Inilah hasil ijtihad sahabat.
b.
Meskipun terhadap pencuri ada petunjuk Al-Qur’an untuk memotong
tangannya bila memenuhi syarat yang di tentukan Nabi, namun Umar bin Khattab
tidak pernah melaksanakan hukuman itu terhadap pencuri karena keadaan pada waktu
itu sedang terjadi krisis atau paceklik.
c.
Pada masa Nabi dan begitu pula masa Abu Bakar dan Umar menjadi
khalifah, azan sholat jum’at seeblum khatib naik mimbar hanya satu kali, karena
dengan satu kali dirasa sudah cukup untuk memberikan tahu masuknya waktu sholat
Jum’at. Karena jamaah pada waktu Usman semakin banyak, dirasakan tidak cukup
lagi kalau azan itu hanya satu kali, oleh karena itu beliau menetapkan
berdasarkan ijtihadnya dengan memberlakukan azan Jum’at sebanyak dua kali
sebelum khatib naik mimbar.
Contoh-contoh di
atas hanyalah sebahagian kecil praktik ijtihad di kalangan para sahabat, baik
dalam kedudukannya sebagai khalifah maupun sebagai penduduk muslim biasa yang
di catat sebagai ijtihad yang dilakukan para sahabat.
PENUTUP
Ijtihad merupakan upaya untuk menemukan hukum tentang suatu masalah
yang belum disebutkan secara khusus dalam nash. Hal ini adalah kegiatan yang
dibenarkan, bahkan dianjurkan oleh Allah SWT, sebagai pencipta syari’at
(Syar’i) dan oleh Rasulnya. Pembenaran dan anjuran ijtihad itu didasarkan atas
petunjuk-petunjuk yang dapat kita baca dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Melalui ijtihad, masalah-masalah yang baru dan tidak terdapat dalam
Al-Qur’an dan Hadist dapat dipecahkan oleh para mujtahid. Islam mampu berkembang
dengan pesat menuju kesempurnaannya juga melalui ijtihad. Sebaliknya ketika
ijtihad sirna dari kalangan Islam, pastilah mengalami kemunduran. Begitu
pentingnya kedudukan ijtihad bagi ummat Islam dalam rangka memenuhi
kebutuhannya. Sementara kita sedang berada dalam satu masa yang mau tidak mau
akan berhadapan dengan sebagala macam persoalan yang dulunya tidak pernah
menjadi ada.
Pada saat ini hukum Islam sedang menghadapi tantangan yang amat
serius seiring dengan banyaknya hal baru yang muncul dan berubah dalam setiap
aspek kehidupan ummat. Tuntutan penyegaran produk klasik atau perbuatan produk
hukum baru pun tak terelakkan. Dengan alasan itu, dapat dipahami bahwa tidak
ada sesuatu pun yang punya realitas mutlak. Tidak ada trealitas lain kecuali
hasil ijtihadnya itu.
Dalam melakukan ijtihad, tidaklah dapat dilakukan bagi orang yang
biasa-biasa saja tetapi orang yang terlibat dalam menggali hukum Islam harus
benar-benar diakui kapasitas keilmuannya untuk dapat mensintesa dalil-dalil
hkum dari berbagai sumber utama hukum Islam, menjadi sebuah produk hukum aktif,
aplikatif, dan dapat dipertanggung jawabkan di hadapan Alllah SWT serta ummat.
Dan sudah barang tentu para pakar hukum Islam dapat saja terinspirasi dengan
ijtihad-ijtihad yang pernah dilakukan oleh sahabat-sahabat Rasulullah yang
senantiasa mengedepankan kemashalatan ummatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hafnawi, Muhammad Ibrahim. Dirasatu Ushuliati. Cairo : Tanpa Tahun
Khallaf, Abd al-Waha, Ushul al-Fiqh, Dar al-Qalam. Cairo, 2004
M. Zein, Satria effendi, Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana, 2008
Muthahhari, Muthadha, Islam dan Tantangan Zaman. Bandung : Pustaka
Hidayah, 1996
Syatibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqot fi ushuli al-Asyariah, Beirut :
Dar al – Kutub al-Ilmiyah, 2003
Syirazi, Abu Ishaq Ibrahim. Alluma’ Fii Ushuli al-Fiqh. Semarang :
Karyati Putra tanpa tahun
Shiddieqy, Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang : PT. Pustaka Rizki
Putra, 1999
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh. Jakarta : Logos Wacana Ilmu. 2001
Usman, Suparman, Hukum Islam. Jakarta : Gaya Media Pratama. 2002
Zaidan, Abu al-Karim. Al-Wajiz Fii Ushul al-Fiqh, Beirut, Dar
al-Kutub aL-Ilmiyyah. 1999
Comments
Post a Comment